Liana kini sudah bisa mengobrol kembali seperti biasanya, setelah Franciss memanggil dokter untuk memeriksa cucunya, dan direkomendasikan untuk menemui Psikolog.
Setelah hampir seharian penuh menghabiskan waktu di Mension Franciss, keduanya memutuskan untuk pulang setelah melihat waktu yang menunjukkan pukul 6 sore.
"Kita pulang dulu Opa". Pamit Reynal setelah bergantian memeluk Franciss.
"Kita pamit ya Opa" ujar Liana yang berdiri disamping Reynal.
"Hati-hati dijalan. Opa harap kalian selalu berkunjung kemari" ujar Franciss pada kedua cucunya.
"Iya Opa". Sahut Reynal dan Liana bersamaan.
"Bahagia selalu nak". Ujar Franciss pada keduanya.
Hujan turun dengan begitu lebatnya ketika mobil Reynal keluar dari halaman Mension. Dari tadi Reynal dan Liana hanya hanya diam tanpa ada yang berniat membuka percakapan hingga tiba di rumah Liana.
Sebelum keluar dari mobil Reynal menelpon Bi Yasmin untuk membawa payung untuk mereka berdua.
Setelah makan malam Liana kembali ke kamarnya dengan ditemani Reynal yang sejak tadi keras kepala untuk menjaganya hingga dia terlelap.
Setelah beberapa jam Liana terlelap, Reynal yang berniat untuk pulang harus menghentikan langkahnya setelah menyadari Liana yang kembali gelisah dalam tidurnya.
"Tolongin... gue...". Guman Liana dengan suara yang sangat pelan.
"Dia... nyakitin... gue... tolongin... gue...". Lirih Liana lagi dalam tidurnya.
Reynal menatap Liana dengan wajah bingung, apa yang harus dia lakukan sekarang. Dia tidak mungkin membangunkan Liana yang sudah bisa tidur setelah meminum obat dari dokter tadi.
"Siapa Lia?". Ujar Reynal dengan frustasi.
"Tolongin... gue...". Lirih Liana dengan airmata yang mulai membasahi pipinya.
Reynal mengbuang napas kasar, dia tidak ingin mengganggu tidur Liana, namun Demi Tuhan Reynal benar-benar tidak sanggup melihatnya seperti ini.
"Lia?"
"Lia? Bangun Lia". Lanjut Reynal lagi sambil menepuk pipi Liana pelan.
Beberapa menit kemudian kedua mata Liana akhirnya terbuka, dengan napasnya yang masih tidak beraturan.
"Lia?". Panggil Reynal berusaha menyadarkan Liana.
Liana tidak mendengarnya sama sekali, masih fokus pada bunyi guntur dan hujan. Lampu kamar yang diremang-remang benar-benar membuatnya sesak.
Suasana ini pernah sangat menyakitinya dan dia tidak bisa berada dalam situasi ini.
"Enggak!!". Gumam Liana sambil menggeleng kepalanya berulang-ulang, keringat dingin dan airmata juga perlahan mulai membasahi pipinya lagi.
"Liana?" Panggil Reynal sambil memegang pundak Liana.
"Gue takut". Ujar Liana dengan pelan.
Sejak kapan Liana menjadi penakut.
Reynal ingat sekali malam dimana dia kira Liana akan ketakutan saat pemadaman lampu dan suara hujan yang terus terdengar disertai gemuruh dan kilat, seperti Viona adiknya Reynal.
KAMU SEDANG MEMBACA
DRAGA
General Fiction"Kalau kamu yang menjadi penyebab luka itu, paling tidak kamu harus menjadi obatnya atau mengobatinya" DRAGA yang artinya Obat.