Mencari pengakuan ibu

1.9K 123 8
                                    

Thea berbaring di dalam kamar sambil menatapi langit-langit rumah, ia sedikit melamun sebenarnya.

Karena entah kenapa ia selalu saja teringat dengan apa yang terjadi saat di masjid tadi sore. Pemuda itu, apa dia sudah baik baik saja?

Thea pun memiringkan posisi tidur dan memeluk bantal guling kesayanganya. Ia benar-benar tak nyaman, apalagi pertanyaan itu selalu muncul di dalam pikiranya.

Saat Galang ia antarkan pulang ke rumahnya, pemuda ringkih itu terlihat sakit dan pucat. Sejenak ia melupakan seluruh kebencianya pada pemuda itu, karena ternyata di balik keurakannya ia masih memiliki hal yang tak pernah ia bayangkan sama sekali.

Tapi di sisi lain, saat ia mendatangi rumah pemuda itu. Ia minder, rumah Galang sangatlah besar dan mewah mobil terlihat berjejer dengan rapih di salah satu tempat khusus, ada kolam renang sendiri dan masih banyak lagi yang membuatnya semakin tak percaya diri.

Ia memang tak ada hubungan apapun dengan Galang, tapi rencana pernikahannya sudah di tentukan dua bulan lagi setelah ia lulus sekolah. Itulah yang ia dengar dari ibunya saat ia pulang.

Entah ia harus merasa senang atau sedih. Ia sendiri pun tak tau. Ia harusnya senang, karena dengan demikian sekolahnya tak akan terganggu dan ia bisa belajar tanpa ada rasa khawatir sedikitpun.

Tapi juga, ia tetap merasa keberatan dengan pernikahan itu karena ia belum merasa siap membangun komitmen dengan seseorang yang sama sekali tak ia kenal.

"Hmh, kenapa setiap kali hal itu terlintas, rasanya perih?" gumam Thea pada dirinya sendiri.

***

Galang membuka kedua matanya di sertai usikan kecil dari tubuh menandakan bahwa ia akan benar-benar terbangun.

Seluruh tubuhnya tak enak ia rasakan, namun tetap saja ia harus memaksanya untuk terbangun karena ia harus pergi ke sekolah.

Alarm di kamarnya terus berdering sangat keras dan terus menyiksa pendengarannya pagi ini. Pukul 5:00 ia mulai beranjak dari kasur melangkah ke kamar mandi dan mulai bersiap diri seperti biasanya.

***

Galang pun turun dari anak tangga rumahnya menuju ruang makan dengan wajah lesu, saat ia sampai di meja makan ia melihat ayahnya sudah lebih dulu duduk di kursi dengan tatapan datar. Wajar saja, ayah pasti marah karena ia sudah kabur dari restaurant itu kemarin sore.

Ia pun duduk bersebrangan dengan ayahnya, mengambil piring dan satu centong nasi beserta lauknya yang sudah di siapkan Bi Esti untuk sarapan. Seperti biasa, ibunya tak pernah ada setiap pagi.

Duduk sarapan hanya berdua saja dengan ayahnya adalah hal biasa di rumah ini. Entah kapan lagi ibunya itu akan pulang, setelah terakhir kali ia datang dua hari lalu.

"Kenapa kamu semalam?" tanya Pak Yahya.

"Kenapa apa? Aku gak pa-pa," jawab Galang datar, seraya memakan makananya.

"Kalau kamu masih sakit, kamu boleh tak masuk sekolah hari ini. Nanti papah akan mengantarmu ke dokter," ucap Pak Yahya lagi.

"Gak perlu, gak ada yang peduli juga kok kalo aku sakit, urusin aja kerjaan papah. Gak usah mikirin aku."

TUK!

Terdengar cukup nyaring suara yang di timbulkan sendok yang di ketukan ke atas piring oleh Pak Yahya.

Sedangkan Galang masih bersikap dingin dan tak peduli.

"Apa maksud kamu? Kamu itu anak papah, sudah jelas papah peduli sama kamu, cobalah berpikir lebih dewasa lagi. Jangan terus-terusan kamu bersikap seperti anak kecil!" ucap pak Yahya dengan nada sedikit tinggi.

YANG TAK DIINGINKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang