Galang mengelus perut, menahan lapar yang terus menyiksa sejak tadi. Tampaknya, menyuruh Yasa pergi membeli makanan bukan keputusan terbaik. Jin Tomang itu pasti tidak mengabulkan keinginannya sekarang. Padahal, dia sudah membayangkan nikmatnya nasi goreng spesial ati ampela yang dipesan tadi. Bibirnya telah kering dan dibasahi berulang kali menahan semua itu.
"Dasar kutu beras, jin abal-abal! Dia pasti ngerjain gue sekarang ... ck!"
Mulut Galang sudah gatal ingin mengomel, jika saja Yasa ada di hadapannya sekarang. Dia pasti habis ditelan amukannya. "Gak tau orang kelaperan apa?"
Galang memencet tombol panggil di gawai menghubungi Yasa. Namun, malah tersambung ke layanan operator. "Niat banget tu orang bales dendam sama gue." Dia melempar gawainya ke samping. Sudah cukup kekesalan untuk hari kemarin. Dan dia tidak akan mengawali hari ini dengan perasaan yang sia-sia.
Thea telah lelap di sofa setelah dipaksa Galang untuk tidur. Jika tidak, Thea pasti akan terjaga sampai besok pagi.
"Assalamualaikum, Lang."
Seseorang datang, langkah lebarnya mengarah cepat ke tempat Galang berada. Kepanikan hampir memenuhi setiap gerak dari tubuhnya. Itu Bu Rini, dia datang setelah mendapat kabar tak menyenangkan baginya dari Thea.
"Waalaikumsalam. Mama?" Galang mengernyit. Belum sempat dia bertanya. Bu Rini menaruh tas di atas meja dan lantas memeluknya sesaat.
"Apa kau baik-baik saja? Apa kau terluka parah, hmh--?
"Ahhh. Ma ... sakit."
Galang meringis ketika tak sengaja tangan Bu Rini menyentuh bahunya. Luka yang tersembunyi di balik pakaian membuat wanita itu tampak sedikit gemetar. Bu Rini bisa menebak, luka itu didapat dari menahan peluru yang akan diarahkan pada Thea oleh Wingky.
"A-apa ini?"
"Tidak apa-apa, Ma. Jangan khawatir, insha Allah akan membaik sebentar lagi," ucap Galang berusaha bersikap tenang di hadapan Bu Rini.
"Seharusnya kau jangan pernah bertindak bodoh, Lang. Mama tidak bisa sanggup kehilangan kamu dengan cara yang sama seperti almarhum ayahmu dulu. Kamu tidak tahu seberapa besar kekhawatiran mama sekarang. Kamu adalah harta paling berharga dalam hidup mama, bagaimana bisa mama tidak khawatir."
Galang tersenyum tipis. Dia membenarkan posisi duduk hingga senyaman mungkin. "Ma. Apa aku boleh tanya?"
"Tentang apa?"
"Menurut Mama, aku lebih mirip siapa? Ayah atau Mama? Aku ... lupa bagaimana wajah Ayah dan bagaimana sifatnya."
Bu Rini menyeka air mata dengan tissu, dia lihat setiap garis di wajah anaknya. Alis tebal dan dilengkapi mata berlensa hitam tegas. Bentuk hidung mancung nyaris sempurna dengan rambut lurus hitam legam. Membuat Galang amat menyerupai almarhum Puguh sewaktu muda.
"Kau mirip sekali dengan ayahmu."
"Benarkah?" tanya Galang yang langsung disambut anggukan Bu Rini. "Berarti, Mama pasti sudah hafal betul sifat Ayah pasti menurun padaku."
"Walau Mama memintaku untuk tidak melakukan hal ini sebanyak 100 kali. Tapi aku tidak bisa menuruti keinginan Mama. Sekarang, aku adalah suami sekaligus seorang ayah. Sudah menjadi tanggung jawabku untuk melindungi keluargaku walau pun nyawa taruhannya. Jika aku tidak bisa melindungi keluarga, maka aku tidak layak berada di dunia ini. Sesakit apapun itu, aku tidak akan pernah menarik kata-kataku sendiri."
Bu Rini tersenyum nanar. Bahagia menggerayangi hatinya mendengar Galang berkata sedemikian rupa. Dia tidak pernah menyangka pemikiran Galang akan sama persis dengan almarhum ayahnya dulu. Sebab, Pak Puguh selalu mengatakan. "Kebanggaan suami adalah melihat keluarganya bahagia." Oleh karena itu, ketika Pak Puguh meninggal akibat menyelamatkan anaknya. Dia tidak pernah meyesali itu sedikit pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
YANG TAK DIINGINKAN
FanfictionEND❤ Tentang perjuangan dari seorang anak yang ingin mendapat pengakuan dari ibu kandungnya selama belasan tahun. Perjalanan mempertahankan rumah tangga dengan pertaruhan nyawa. Penuh siasat dan intrik.