Beberapa waktu kemudian, hujan dan petir di luar pun sudah mulai mereda. Setelah kejadian tadi Thea kini berada di samping Galang yang masih belum juga siuman di bed stretcher rumah sakit.
Suhu tubuhnya begitu tinggi, igauan kecil terus dikeluarkan Galang dari bibirnya, bahkan sesekali juga ia tiba-tiba berteriak tak jelas seperti ketakutan hingga Thea harus menggenggam erat tangannya, baru setelah itu ia bisa kembali tenang. Entah apa yang ada di dalam mimpinya namun yang jelas suaminya itu tampak begitu pucat sekarang.
Bi Esti hanya menjelaskan bahwa Galang memiliki trauma berat pada gelap. Tak jelas bagaimana kejadiannya, seolah masih ada yang tertutupi sampai Bi Esti tak berani berkata jujur.
Waktu sudah menunjukan pukul 00: 30, rasa kantuk yang teramat berat pun sudah menempel di kedua mata Thea, ia berusaha terus mengangkat kelopak matanya ke atas agar tetap terjaga, namun hal itu ternyata sia-sia saja karena ia tak terbiasa tidur selarut ini.
Ia melihat ke arah Galang lagi, sepertinya pemuda itu sudah tertidur lelap sekarang. Thea memutuskan tidur di sofa yang tersedia dalam ruangan itu sambil menunggu Bi Esti yang pergi entah ke mana.
***
"Bibi." Sayup suara Galang memanggil. Menoleh sedikit pada seorang wanita paruh baya yang tidur tepat di kursi sebelahnya terbaring.
"Iya? Alhamdulillaah, akhirnya Aden siuman juga. Ada yang bisa bibi bantu?" tanya Bi Esti.
Galang menggelengkan kepala. Ditatapnya sejenak tempat ia berada saat ini, dan kembali menatap ke arah Bi Esti.
"Sejak kapan aku ada di sini?"
"Selepas Isya. Aden istirahat lagi saja, ya. Ini masih jauh dari pagi."
Bi Esti memberi perhatian, namun Galang malah berusaha bangkit dari tidur walau Bi Esti melarangnya ketat. Sesekali matanya terarah pada Thea yang lelap di sofa. Ia diam.
"Apa bibi ngasih tau Thea soal ini?" tanya Galang.
"Tidak."
"Hmh, bagus." Galang mengangguk paham.
Sesekali Bi Esti menyeka sudut mata dengan sapu tangan melihat ke arah Galang.
"Harusnya Den Galang memberitahu Non Thea yang sebenarnya. Walau bagaimana pun, Non Thea berhak tahu--"
"Enggak, Bi. Aku gak mau ada lagi orang yang baik padaku berdasarkan kasihan. Bibi tahu sendiri, perlakuan Papah padaku sekarang? Aku bahkan gak diizinin kuliah," keluh Galang pelan. Menatapi Thea yang berada di sudut sana lelap dalam mimpi.
"Maka dari itu Aden harus mendengar nasihat Tuan. Jalani pengobatan Aden, jika Aden sudah sembuh. Aden bisa melakukan apa yang Aden mau," ucap Bi Esti.
"Aku belum mau mati sebelum harapanku tercapai, Bi. Satu-satunya harapan yang selama ini kuperjuangkan."
"Nyonya?" tebak Bi Esti.
Galang diam. Beberapa saat berlalu tanpa ada jawaban dan kata hingga akhirnya Bi Esti kembali bicara.
"Aden harus punya lebih dari satu harapan dan alasan. Bibi yakin pasti ada seseorang lagi yang mampu membuat Aden punya semangat hidup lagi. Apa aden tidak menyayangi Tuan dan bibi? Ingatlah hal itu, Den ...."
Galang memutar posisi tidurnya mebelakangi Bi Esti. Ia tahu dan paham ini bisa dikatakan tidak sopan saat ada seseorang yang mengajaknya bicara. Namun ia merasa pembicaraan mereka akan tetap menemui jalan buntu, karena Galang tetap bersikukuh akan menjadikan pengakuan ibu kandungnya sebagai satu-satunya harapan yang membuat ia bertahan sampai kini.
Sesuatu yang bersarang di kepalanya dan tertanam lekat menyatu dengan isi otaknya telah mematikan semua harapan dan alasan yang ia miliki.
"Aku pengen pulang besok pagi, Bi."
KAMU SEDANG MEMBACA
YANG TAK DIINGINKAN
FanficEND❤ Tentang perjuangan dari seorang anak yang ingin mendapat pengakuan dari ibu kandungnya selama belasan tahun. Perjalanan mempertahankan rumah tangga dengan pertaruhan nyawa. Penuh siasat dan intrik.