Arti Seorang Anak

1.7K 109 13
                                    

Thea berpegang erat pada sabuk pengaman yang melingkar di tubuhnya. Ia sedikit gugup, sudah lima menit lamanya semenjak ia dan Galang masuk dalam mobil dan mulai melaju di jalanan Ibukota Jakarta ini. Namun, tak ada sepatah kata pun terlontar dari bibir mereka berdua.

Sungguh, sangat menyebalkan jika Thea harus mengakui kalau ia merasa kehilangan sosok Galang dulu yang selalu petakilan dan bicara ceplas-ceplos.

"Bodoh. Kenapa aku malah mikir gitu, sih?" Thea membatin seraya menepuk keningnya sendiri. Seharusnya ia senang, sebab lelaki itu tidak akan mengusik ketenangannya lagi.

"Kenapa? Apa ada yang mengganggumu?" tanya Galang.

"Ah ... eumh. Enggak ada," jawab Thea. Ia jadi bingung sendiri ingin berkata apa. "Masih jauh, ya?"

"Lumayan. Kenapa? Kalau kau mau pulang, aku bisa menurunkanmu di sini."

Jawaban Galang membuat mata Thea mendelik tajam. "Pengen banget aku pulang kayaknya. Kenapa? Takut kalau di sana kamu enggak bisa ngegenitin cewek karena ada aku?"

Thea melipat kedua lengan di dada, ia kesal. Pertanyaan Galang seolah begitu risih ia buntuti sampai di restaurant. Lelaki itu tersenyum miring.

"Ya ... benar. Aku takut kau cemburu. Sebab pegawaiku kebanyakan wanita cantik. Dan kebanyakan dari mereka belum menikah."

"Apa?" Thea mengernyit.

"Dan mereka tahunya kalau aku adalah lelaki single yang belum menikah."

"Galang! Jadi, selama ini kamu ngaku belom punya istri?! Kenapa? Bukannya katanya kamu udah inget aku?" tanya Thea bertubi-tubi. Ia mendadak jengkel dengan pernyataan tersebut. Segala pemikiran buruk menyelinap masuk dalam kepalanya. Jangan-jangan, lelaki itu sudah punya pacar? Atau, menikah lagi?

Thea menggigit bibir bawah dan menyisakan perih di sana. Ia khawatir pemikiran itu akan jadi kenyataan.

"Aku tidak pernah mengakui itu. Tapi mereka sendiri yang menganggapku begitu. Lagipula, walau aku mengingat wajahmu, tapi aku belum sepenuhnya mengingat bagaimana hubungan kita."

Thea terpaku membalas tatapan sesaat Galang padanya.

"Saat pertama melihatmu. Kupikir kau adalah wanita kejam yang tega meninggalkanku dalam keadaan buta. Karena pada dasarnya, orang buta bisa mengetahui situasi dengan meraba sendiri."

"Galang ... aku gak bermaksud begitu ...."

"Tapi, aku bersyukur kita masih bisa bertemu. Setidaknya, aku bisa membuktikan kalau kau nyata. Dan perasaanku juga nyata padamu."

Galang menghentikan mobilnya, membiarkan pandangannya tertuju pada pemilik mata indah kecokelatan yang lama sekali telah menelusup paksa di setiap ingatannya.

Thea bergenyit. Air matanya mendadak luruh tanpa diundang. "Makasih."

"Buat apa?"

"Karena udah bertahan sampai sejauh ini. Aku bersyukur kau masih hidup ...!"

Thea tidak dapat lagi memungkiri perasaannya. Berulang kali ia memaki lelaki itu, tapi memang nyatanya kebahagiaan yang nyata ia rasa lebih besar. Tubuhnya menghangat ketika Galang memeluknya lagi. Dan Thea tak cukup mampu menolak kehangatan suaminya saat ini.

"Jangan pernah melakukan kebodohan itu lagi. Berjanjilah jangan pernah meninggalkanku lagi ...."

Thea mengangguk cepat mendengar bisikan Galang di samping telinganya. "Iya ... aku janji."
***

Begitu memasuki restaurant milik Galang. Lidah Thea telah dimanjakan dengan berbagai macam menu yang tersedia di dalam. Ia yang selama ini hanya makan masakan rumahan pun akhirnya bisa merasakan bagaimana nikmatnya hidangan ala kebarat-baratan.

YANG TAK DIINGINKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang