Thea masih betah berlama-lama duduk di samping tempat tidur suaminya. Wajah Galang saat terlelap seolah mengajaknya berselancar di kepingan masa lalu mereka yang rumit. Namun, sampai detik ini Thea selalu bersyukur karena Allah telah mempertemukannya dengan Galang. Pemuda petakilan yang selalu membuat tensi darahnya naik dan berakibat sakit kepala.
Andai saja cara mengungkap kata itu sama mudah. Thea pasti bisa dengan lancar mengutarakan bagaimana rasa bahagianya sekarang. Tapi, ternyata tidak semudah itu. Kata yang tersusun rapi dari setiap celah hati yang dikumpulkannya bertebaran di mana-mana. Hingga Thea tidak tahu cara mengumpulkan setiap kata itu kembali.
Hanya gerak tubuh yang mampu mewakilkan segalanya. Tangan Thea terlalu berat melepas pegangan mereka, sebab rasa hangat yang dialirkan Galang terlampau menjadi candu untuknya.
"Hai ...." Thea menarik dua sudut bibirnya naik. Galang perlahan membuka mata dan membalas genggaman tangan mereka. Sudah dua jam penuh pria itu terlelap, meredakan nyeri yang dihasilkan oleh ulahnya sendiri. Jarum infus kembali melekat di tangannya setelah dokter memarahi sikap Galang yang semaunya sendiri.
"Apa sejak tadi kau di sini? Ke mana yang lainnya?" tanya Galang bersuara serak khas bangun tidur. Dia melempar pandangan ke sekeliling, yang tertangkap hanyalah sepi. Kecuali dia dan Thea dalam sana.
"Udah pulang. Tapi Ibu sama Mama ada di luar, kok. Kamu tidurnya nyenyak banget, mereka takut ganggu."
Galang mengangguk kecil. Paham sebagian maksud perkataan Thea. "Apa mereka tidak bertengkar?"
"Seperti yang kamu harapkan. Usaha kamu selama ini udah membuahkan hasil, Lang. Dan seharusnya kita bisa menuai lebih banyak kebahagiaan dari cerita kita selama ini."
Thea tersenyum. Tak satu detik pun pandangannya beralih ke tempat lain. Untuk pertama kali, dia merasa telah dirugikan oleh waktu yang bersikap egois menelan setiap kebersamaannya dengan Galang.
Galang terkekeh pelan. "Sejak kapan kamu jadi serakah, huh?"
"Sejak ... sekarang," jawab Thea sekenanya.
"Dasar manusia. Maunya minta lebih."
"Biarin," kata Thea cepat. "Aku malah mau minta lebih banyak ke kamu."
Galang mengernyit. "Minta apa lagi? Bukan yang aneh-aneh, kan? Ahhh ... apa sebaiknya aku terus-terusan sakit supaya aku yang mendapat perhatian lebih?" keluh Galang dengan senyuman tipis meledek.
"Galang, ih! Ngomongnya gitu, si? Ini nggak aneh lagi tau. Aku janji," ujar Thea.
"Iya. Kamu minta apa?"
"Kenapa gaya bicara kamu terus-terusan formal gitu, sih? Berasa ngomong sama Pangeran akutuh, Lang. Rasanya agak ... sshh." Thea mengusap tengkuknya pelan. Bingung sendiri harus berkata apa. "Agak aneh gitu."
Kernyitan di dahi Galang bertahan cukup lama. Thea tahu, seharusnya dia cukup senang atas perubahan besar Galang. Memperlakukannya sangat baik dan tidak pernah berteriak keras lagi. Tapi, entah kenapa perubahannya menjadi sedikit asing di terima. Tak jarang, Thea malah merindukan ocehan-ocehan absurd lelaki itu padanya.
"Aish. Jadi, siapa yang aneh di sini? Bukannya itu aku, ya?" Thea membatin.
"Terus?" tanya Galang.
"Aku mau Galangku balik lagi. Galang yang cerewet, yang cempreng, yang ngeselin, yang pastinya bikin telingaku sakit setiap hari. Aku tahu ini kedengeran aneh, tapi ... aku sendiri gak tahu kenapa, aku kangen kamu yang dulu."
Galang menghela napas sejenak. Dia pun berusaha bangkit dan duduk, tubuhnya mulai membaik setelah cukup beristirahat tadi. "Tadinya aku pikir, kau suka lelaki lembut."
KAMU SEDANG MEMBACA
YANG TAK DIINGINKAN
FanficEND❤ Tentang perjuangan dari seorang anak yang ingin mendapat pengakuan dari ibu kandungnya selama belasan tahun. Perjalanan mempertahankan rumah tangga dengan pertaruhan nyawa. Penuh siasat dan intrik.