45. Maaf

1K 52 0
                                    

Mereka telah berada disebuah rumah minimalis yang berwarna putih. Sebelumnya Safira, Ria, Mila, Desti, Karin, dan Dina tidak pernah bertamu ataupun urusan lainnya ke rumah Efian.

Tok...tok..tok

"Eh, Algean. Silahkan masuk" ucap seorang wanita paruh baya dengan senyum manisnya.

"Oh iya tante. Efian nya ada?"

"Ada, lagi ditaman belakang. Kalian ketaman dulu nanti tante buatin minuman sama makanan kesukaan kalian ya" ucap Maya dengan sumpringah ketika melihat Algean dan yang lainnya.

"Siap tante" sahut Algean cs dengan kompak.

Memang mereka sangat suka dengan masakan buatan ibu Efian. Namun sudah sekian lama mereka tidak merasakan masakan itu.

Langkah demi langkah mereka menelusuri suasana dirumah Efian. Di taman belakang sudah ada Kayna dan Efian sedang berbincang ria. Mereka merasa tidak enak hati untuk menggangu mereka karena obrolan mereka mungkin sangat penting sampai Efian tak sadar jika sahabatnya datang untuk menemui.

Fion mencoba menemui Efian diikuti dengan teman-temannya. Fion merasa tidak enak melihat teman-temannya yang harus berdiri menunggu Efian apalagi ada Fira dan teman-temannya. Tujuan mereka menjenguk bukan berdiri atau hanya menatap.

"Katanya sih baru keluar dari rumah sakit, eh malah berduaan disini" sindir Fion.

Efian tak menggubris ucapan Fion. Ia hanya menatap teman-temannya satu persatu. Matanya seperti mencari seseorang. Belum sempat ia menemukan orang yang ia cari, Fion sudah memberi isyarat kepada Efian jika Dina sedang berjalan menghampirinya. Efian tersenyum menatap Dina namun, semua itu nihil. Dina tidak menghampiri dirinya Dina hanya diam menatap teman-temannya tanpa menatap Efian.

"Ngapain pada liatin gw" ketus Dina. Ia merasa dirinya menjadi pusat perhatian. Ya, memang ia tadi izin ke toilet jadi ia harus telat dan terpaksa berjalan sendiri untuk menuju taman.

"Ck, pd banget lo, Din" ejek Keenan.

"O!" singkat padat dan jelas. Sekarang ia mengalihkan pandangannya menatap Efian yang dari tadi menatapnya.

Ada rasa kerinduan yang mereka rasakan. Rasanya ingin sekali berkeluh kesah bersama. Ingin bercerita dan harus mendengarkan seribu kata maaf dari mulut mereka berdua. Namun, suasana tidak mendukung. Ada Kayna yang stay berdiri disamping Efian.

Dina mengalihkan pandangannya. Ia menatap teman-temannya dan mencoba mengisyaratkan agar mereka meninggalkan Dina dan Efian. Karena ada yang harus Dina bicarakan dengan Efian.

Rasanya canggung sekali Dina harus berbicara empat mata dengan Efian. Ia jadi merasa bersalah karena tidak pernah menjenguk Efian selama 3 hari ini.

Efian yang melihat Dina bingung mau berbicara apa kini ia hanya tersenyum menatapnya.

"Ngapain lo senyum-senyum liatin gw" ujar Dina dengan pd-nya.

"Cantik," lirihnya namun masih bisa terdengar jelas ditelinga Dina.

Dina merasa pipinya kini telah memanas. Mungkin sekarang pipinya sudah merah seperti kepiting rebus.

"Mau bicara apa sama gw? Gw tahu lo berdiri terus capek," ujar Efian.

"Maafin gw, An." Dina menggigit bibir bawahnya agar ia bisa menahan rasa gugupnya.

"Udah gw maafin,"

"Maaf kalau selama ini gw gak bisa buat lo nyaman disisi gw,"

"Gw nyaman disisi lo, dan gw akan selalu sayang sama lo apapun itu penghalangnya"

Mendengar perkataan Efian seperti itu, ia tak bisa membendung air matanya yang kini sudah menetes.

"Maaf kalau gw selalu nyusain lo, An. Gw baru datang disaat lo butuh gw, dan sedangkan lo,,,, selalu ada buat gw. Maaf."

Efian menarik Dina kepelukannya. Ia sangat rindu dengan Dina yang selalu membuat hidupnya ceria. Namun, hari ini ia tak sanggup melihat Dina harus menangis dihadapannya.

"Gw udah maafin lo, ga usah banyak kata maaf lagi. Gimanapun dan mau bagaimanapun gw tetap sayang sama lo," ujar Efian dengan tulus.

Dina tak bisa menahan air matanya. Ia menangis didekapan Efian. Ia tak sanggup melihat orang yang selalu ia sayangi harus duduk dikursi roda. Walaupun itu sementara tapi ia tak tega menihatnya.

Dina melepaskan pelukannya. Ia menatap Efian yang kini menatapnya dengan senyum manis yang terukir dibibirnya. Ada rasa bersalah yang amat sangat besar didalam hatinya. Seharusnya ia selalu menjaga Efian, tapi ia harus mematuhi kakak dan orangtuanya.

"Udah, gak usah nangis" Efian menghapus air mata yang terjatuh dipipi Dina.

"Katanya gak pernah cengeng, eh sekalinya nangis sampe cegukan" ejek Efian. Memang benar, Dina tidak pernah menangis didepan Efian. Tapi, hari ini ia menjatuhkan air matanya dihadapan Efian sungguh sangat malu.

"Kita masuk kerumah yuk, kasihan mereka pasti nungguin kita," ucap Efian mencoba untuk menenangkan Dina.

Ia tak mau melihat gadis yang ia sayangi menangis dihadapannya.

Dina berdiri dari tempat duduknya dan mendorong kursi roda yang Efian gunakan menuju kedalam rumah.

"Udah selesai kangen kangenanya?" cibir Ria.

"Apaansi lo"

"Hahahaha" teman-temannya tak mampu menahan tawa melihat ekspresi Dina salah tingkah.

"Din, kamu makan dulu. Kamu belun makan kan?" pinta Efian.

"Udah kok," Elak Dina.

"Gak usah sok nolak, Din. Masakan tante Maya enak banget. Lo kayanya bakal ketagihan deh kalau sekali makan. Secara nyata kan lo makannya banyak" canda Fion. Dina menatap tajam Fion, ia sangat malu diperlakukan seperti itu. Apalagi didepan mamanya Efian bisa turun image Dina kali ini.

"Sini duduk disamping gw," pinta Fira.

Mereka sibuk dengan makanan nereka. Tidak ada yang mengajsk berbicara perkatapun. Suasana hening, hanya ada bunyi sendok yang menggema dimeja makan.

Setelah semua sudah selesai makan. Mereka tidak izin pulang terlebih dahulu karena Efian pasti tidak akan mengizinkannya. Apalagi ada Dina, pasti Efian mati matian mencari alasan agar mereka tidak pulang.

Mereka sedang sibuk bermain ditaman belakang. Entah apa yang mereka mainkan sekarang. Efian selalu menggenggam tangan Dina tanpa ada niatan untuk melepaskan. Efian ingin menuntaskan rasa rindunya kepada Dina. Begitupun sebaliknya.


Jangan lupa vote dan comment ya

Thank you

Squad Seven ✔ (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang