Cincin

640 60 28
                                    

Belum ada orang ketika Haikal kembali ke ruang meeting. Diambilnya mushaf dari dalam tas dan mencari posisi paling nyaman untuk mulai membaca. 

Ketika menyadari bahwa dia hanya memiliki 24 jam untuk menjalani kehidupan, saat itulah waktu terasa begitu sempit. Tak banyak yang bisa dilakukan untuk mengisinya dengan gerak bermanfaat. Karenanya, apa pun yang hendak dilakukan hari ini tidak boleh disesali kemudian hari.

Anna kembali ke ruang meeting segera setelah menyelesaikan makan siang dan mengawasi perkembangan persiapan lantai 7 yang akan disulap menjadi day care. Ia sedang dalam mode penuh semangat mengurusi segala detil tentang tempat penitipan anak ini. Sejak ikut memberi pelayanan sebagai pengasuh Sekolah Minggu, dia merasa inilah panggilan hatinya, bersama anak-anak yang masih suci jiwanya.

Kedatangannya disambut alunan syahdu kitab suci yang dilantunkan Haikal. Tak ingin mengganggu, ia hanya duduk di tempatnya tanpa bersuara. Suara lelaki itu terdengar jernih meski terasa agak berat diseret sepanjang baris. Anna seolah tersihir, hanya menunduk takzim, tak bisa berpaling dari suara magis yang masuk dalam ruang dengar.

Haikal menyudahi sesi tilawahnya beberapa saat setelah Anna duduk manis di kursi tanpa melakukan apa pun. Ia khawatir suaranya telah mengganggu konsentrasi gadis itu.

"Kenapa berhenti, Pak?" Anna bertanya dengan nada kecewa.

"Ngga apa-apa," Haikal menjawab datar, "sebentar lagi kita akan mulai interview."

Anna tersenyum. "Saya suka mendengarnya. Sangat menenangkan."

Senyum dibalas senyum. "Saya kira semua kitab suci memang memiliki efek menenangkan."

Satu kalimat Haikal membuat dahi Anna berkerut. Benar juga. Begitu harusnya sebuah kitab suci memberi dampak bagi pembacanya. "Tapi, mengapa saya tidak merasakan hal yang sama ketika membaca Alkitab?"

Alis Haikal bertaut mendengarnya. "Benarkah?" Berpikir sebentar lalu melanjutkan, "Mungkin karena Anda tidak membacanya dalam bahasa asli. Ketika saya membaca terjemahan Alqur'an, saya juga tidak merasakan efek menenangkan seperti ketika saya membaca teks aslinya."

"Begitu, ya?" Anna sulit percaya. "Mungkin saya juga harus membaca Alkitab dalam bahasa aslinya."

Haikal menoleh. Wajah Anna benar-benar terlihat penuh tanya. "Hmm, tapi saya kira efek menenangkan ini hanya sugesti."

Anna tertarik dengan kata sugesti dan menatap mata lawan bicaranya agar dapat menyimak lebih serius.

"Karena saya merasa membaca kalam Ilahi, makanya saya merasa tenang. Seolah Allah sendiri yang bicara pada saya."

"Maksud Bapak, saya sudah tersugesti? Oleh bacaan kitab suci yang bukan kitab suci saya?"

Kesimpulan Anna agak mengejutkan Haikal. Ia menarik badannya sedikit dan memulai sanggahan, "Bukan begitu maksud saya. Ini hanya tentang apa yang saya rasakan. Saya tidak tahu mengapa Anda juga bisa merasa tenang."

Anna mengangguk, berusaha tersenyum maklum. Namun kalimat Haikal terus saja membuat benak bertanya-tanya.

"Mungkin Anda merasa tenang karena mendengarnya dari saya," Haikal berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Maksudnya?"

"Mungkin karena suara saya yang seksi, hehehe."

Tidak lucu, Pak! Anna melontarkan ekspresi meh! Membuat Haikal menggaruk kening salah tingkah. 

Ketika itu sebuah benda berkilau memikat ruang penglihatan Anna. "Kita punya cincin yang sama, ya Pak?" katanya benar-benar takjub.

Aha! Haikal berseru girang dalam hati. "Oh, ya? Kok bisa, ya?" 

Jurnal HaikalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang