"Haikal, aku mencintaimu," kalimat terakhir dari Raisa terasa seperti embusan angin sejuk di telinga Haikal.
"...Mintalah maka kamu akan menerimanya, carilah maka kamu akan menemukan, ketuklah maka pintu akan dibukakan bagimu," lamat-lamat Haikal mendengar suara berbisik yang terasa dekat.
"Dengan perantaraan Bunda Maria, Bunda-Mu yang tersuci, aku mengetuk, aku mencari, aku memohon kabulkanlah doaku." Mata Haikal terbuka seketika. Di samping tempat tidur, dia melihat Anna berlutut menghadap jendela. Tangannya mengatup rapat di depan dada. Rosario menjuntai dari antara kedua telapaknya.
"Teguhkanlah hatiku yang rapuh. Kuatkanlah jiwaku yang lemah. Bimbinglah tanganku di atas jalan-Mu. Aku tak tahu apa yang akan terjadi esok. Aku tak paham apa yang sedang terjadi sekarang. Berikanlah putusan terbaik bagi hidup kami. Aku percaya, putusan-Mu adalah yang terbaik," lirih suara Anna berbisik memenuhi ruang dengar Haikal.
Ingatannya kembali ke malam itu. Ketika Raisa meninggalkannya di tempat tidur untuk melakukan shalat tahajjud. Sekarang orang yang sama, melakukan praktik yang sama, dengan cara yang berbeda. Haikal menarik napas antara menyesal dan kecewa.
Andai...
Yah, andai. Kata itu benar-benar menyakitkan.
Anna menyelesaikan rangkaian doanya dengan membentuk salib di dada. Kemudian berbalik dan mendapati Haikal menatap langit-langit dengan pandangan kosong. "Udah bangun?" sapanya.
Haikal menoleh dan tersenyum. Jempolnya menekan tombol di sisi tempat tidur untuk menaikkan bagian kepala ranjang. Suara halus derit mesin memenuhi ruangan.
Anna berjalan memutar untuk duduk di sisi kanan tempat tidur. "Gimana? Udah mendingan?" Punggung tangannya ditempelkan ke kening Haikal. "Demammu udah turun."
"Yah, makasih."
Anna tertawa. "Makasih apa?"
"Makasih udah nemenin aku. Makasih udah bikinin sup. Makasih buat semuanya."
Tawa Anna muncrat lagi. "Biasa aja kali."
Haikal ikut tertawa. "Yeah! Waktuku tinggal beberapa jam lagi. Aku ngga mau lupa bilang makasih sebelum lupa segalanya. Besok kamu bakal ketemu sama aku yang baru."
Tawa Anna terhenti. Kalimat terakhir Haikal terasa begitu menyayat. "Ya. Sama-sama."
"Ngga usah sedih juga," Haikal berusaha tertawa, namun suaranya malah terdengar makin pahit. "Aku kan ngga mati. Masih ada besok."
Anna berusaha tersenyum. Meski begitu, tetap saja, rasanya perih.
"Yeah, ini enaknya punya ingatan cuma 24 jam. Besok aku bisa memperbaiki diri, hahaha."
Tawa itu terdengar menyedihkan di telinga Anna. Dia tertunduk, tak tahu harus merespon bagaimana.
"Hei," Haikal berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Diraihnya tangan Anna. Kehangatan menjalar di telapaknya. "Ngeliat kamu tadi, bikin aku makin yakin kalo kamu emang Raisa."
Anna mendengkus. "Bercanda!"
"Ngga! Beneran! Jam segini, Raisa juga pasti bangun buat shalat tahajjud."
Anna tersenyum sinis. "Tahajjud, loh."
Muka cemberut Anna terlihat menggemaskan buat Haikal. "Kamu juga kan?"
"Aku kan ngga lagi tahajjud."
Haikal terkikik geli. "Iya. Kamu lagi berusaha berdekat-dekat dengan Tuhan, kan?"
"Hmm, bisa dibilang begitu."
"Bener, kan?" Haikal menggenggam tangan Anna lebih dekat lagi. Butiran-butiran rosario terasa mengganjal di antara telapak tangan mereka. "Aku membayangkan," katanya, "waktu itu, ketika kamu tiba-tiba sadar di satu tempat yang berbeda, tidak ingat apa pun, tidak tahu apa pun, pasti rasanya gamang sekali."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Haikal
RomantizmIngatan Haikal hanya bertahan selama 24 jam. Setelah itu, ia akan kembali pada hari yang tak ingin diingat selamanya. *** Cerita ini merupakan lanjutan dari Bulan Madu. Silakan membaca kisah Haikal dan Raisa di Bulan Madu untuk mendapatkan pengalama...