Anna terbangun karena embusan napas panas di leher. Punggungnya terasa sangat hangat. Ketika hendak bergerak, dia baru sadar, tangan besar Haikal merengkuh badannya.
Perlahan Anna memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan Haikal. Bibir lelaki itu pecah-pecah didera dehidrasi. Matanya terpejam, namun embusan napasnya masih kuat mengeluarkan udara panas dari hidung.
Hati-hati ia menempelkan punggung tangan ke keningnya. Suhu tubuh Haikal jauh lebih panas dibanding saat menyetir pagi tadi. Pelan-pelan dilepaskannya rangkulan tangan yang membelit pinggang. "Aku cari paracetamol dulu, ya," bisiknya di daun telinga Haikal, "kamu panas banget."
"Hmm," Anna tak bisa memutuskan gumaman ini sebagai jawaban atau hanya igauan. Bagaimana pun dia keluar kamar mencari obat-obatan yang mungkin bisa berguna untuk mengatasi demam.
Di depan kamar, dia berhadapan dengan sebuah ruangan menjorok tanpa pintu. Di dalamnya tergelar beberapa sajadah dan satu rak berisi Alqur'an.
Anna tercenung. Ini seperti impiannya dalam versi berbeda. Dia mengangankan sebuah ruangan khusus semacam mini-altar di rumahnya kelak. Satu tempat di mana seluruh anggota keluarga dapat berkumpul dalam kasih Tuhan.
Tak mau berlama-lama, ia melangkahkan kaki ke ruang makan. Sebuah kotak P3K tampak menempel di salah satu sudut ruangan. Di dalamnya hanya ada obat-obat ringan untuk pertolongan pertama pada luka. Perban juga plester, tersusun rapi dalam kotak. Ada sebotol paracetamol untuk balita yang tinggal separuh terisi. Dia membuka kulkas, berharap menemukan es batu untuk mengompres. Lebih baik lagi, dia menemukan plester kompres demam. Meski ukurannya untuk balita, tapi mungkin bisa membantu membuat tidur Haikal lebih nyaman.
Di depan kamar, Anna terpaku. Sebuah foto berbingkai cantik tergantung tepat di atas pintu kamar. Raisa dan Haikal dalam pakaian pengantin mereka diabadikan dalam gambar. Keduanya tampak tersenyum bahagia. Mata mereka saling bicara, mungkin sama-sama mengeja C-I-N-T-A.
Anna tak dapat menjelaskan perasaannya melihat foto yang terpampang di atas pintu kamar. Entah bahagia atau haru, mungkin juga sedih, atau sebenarnya tak ada perasaan apa pun yang bangkit ketika menatap gambar sepasang kekasih ini. Sebuah adegan yang dibekukan dalam waktu tak sampai sedetik. Mengabadikan momen di masa lalu, membawanya ke masa kini. Dia tak ingat apa pun tentang hari itu. Namun foto itu menjadi bukti bahwa dia pernah bahagia dalam pernikahan.
Kebahagiaan yang dilupakan, apakah masih bernama kebahagiaan?
Anna membuka pintu kamar. Dipasangkannya plester kompres di kening Haikal. Alis lelaki itu sedikit mengernyit ketika jel dingin menempel rapat di dahi. "Dingin, ya?" Anna berujar lembut, "abisnya kamu panas banget."
Haikal kembali meringkuk, melingkarkan lengan lagi di pinggang Anna.
"Kamu dah bangun?" Anna memperhatikan mata Haikal yang masih terpejam. "Minum obat, yuk." Diambilnya botol dan sendok obat yang tadi diletakkan di atas nakas.
Haikal makin menyurukkan kepalanya di perut Anna.
"Hadeh, ngga usah kaya anak kecil, deh. Malu ama umur."
"Huhuhu. Aku kan lagi sakit. Kenapa malah diomelin?"
Gerakan tangan Anna membuka tutup botol terhenti seketika. Diperhatikannya Haikal yang masih menyurukkan kepala di atas pangkuan. "Heh! Udah, duduk! Udah bisa merajuk gini, berarti udah mendingan. Ayo bangun!"
Haikal bangun dengan malas. Matanya masih setengah terpejam. "Galak bener jadi istri," katanya, "aku masih pusing." Didaratkannya kepala di pundak Anna.
Anna tertegun. Demam Haikal benar-benar tinggi. Dia mungkin lupa, sekarang tidak sedang berhadapan dengan Raisa.
Suhu di tengkuk Haikal menguatkan kekhawatiran Anna. "Minum obat dulu, Kal," katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Haikal
RomanceIngatan Haikal hanya bertahan selama 24 jam. Setelah itu, ia akan kembali pada hari yang tak ingin diingat selamanya. *** Cerita ini merupakan lanjutan dari Bulan Madu. Silakan membaca kisah Haikal dan Raisa di Bulan Madu untuk mendapatkan pengalama...