Bersamanya

486 51 15
                                    

Anna berbalik dan mendapati Haikal menatapnya dengan bingung.

"Raisa?" tanyanya. Dia bukan lelaki yang bicara dengan Anna tigapuluh menit yang lalu. Dia telah menjadi orang lain.

Dihelanya napas dalam. Bersiap memulai hari baru bersama Haikal yang baru saja melompat dari masa tiga tahun lalu. "Bukan, aku Anna," katanya memulai penjelasan.

"Anna?"

Anna menarik bangku dan mengambil posisi di samping tempat tidur Haikal. Matanya melirik jam di dinding. Pukul empat lebih sepuluh menit. Ternyata di sinilah batas itu. Batas ketika memori jangka pendek Haikal menghilang. Tak ada satu pun yang masuk laci memori jangka panjang.

Setelah berdeham pendek dan mengisi paru-paru secukupnya, Anna memulai cerita. Sebuah cerita yang sekarang terasa seperti hafalan. Cerita yang ia kabarkan kemarin, juga kemarinnya lagi. Baginya ini sudah berkali-kali dilafalkan. Bagi Haikal, ini adalah yang pertama.

"Jadi, dengan semua kerumitan ini," kata Anna mengakhiri ceritanya, "kuminta kamu melepaskanku."

Mata lelaki itu terbuka lebar. Jarinya memijit kening yang terasa berdenyut hebat. "Melepaskan?" 

Anna mengangguk yakin. 

"Ah!" Haikal menghempaskan kepala ke bantal, "kepalaku makin pusing."

Anna melirik kantung darah yang sudah kempis di tiang infus. "Aku panggilkan perawat. Udah ada dua kantong darah lagi yang siap dimasukkan."

***

Langit telah berubah warna menjadi biru cerah. Tak ada lagi bintang. Hanya awan tipis melapis cakrawala. Haikal terbangun ketika petugas dapur datang membawakan sarapan. Dilihatnya kepala Anna terkulai di tepi tempat tidur. Dia pasti sudah lelah sekali, semalaman terjaga dalam doa.

"Anna, bukan Raisa," Haikal bergumam pada diri sendiri. Tapi bagaimana pun tetap saja Raisa, hatinya bersikukuh.

Manakah yang esensi, manakah yang kulit? Apakah ini Raisa dengan penampilan Anna? Atau memang tak ada lagi Raisa, yang ada hanyalah Anna?

Tangan Haikal terhenti seangin dari puncak kepala Raisa. Di hatinya, hanya ada Raisa. Seperti apa pun penampilannya, dia tetaplah Raisa. 

Disentuhnya rambut halus itu dengan seluruh telapak tangan. Rambut Raisa, bukan Anna.

Anna menggeliat, mengubah posisi kepala lalu kembali meringkuk dalam lelap. 

Apakah cinta masih ada di hatinya? Jika pun masih ada, mungkinkah tetap bersama dalam pernikahan? 

Apakah esensi dari pernikahan?  

"Aku ingin menapaki jalan bersama, bergandengan tangan menuju ridha-Nya. Apakah itu terlalu berlebihan," lirih bisikan Haikal terdengar putus asa, "Raisa?"

Suara getar ponsel menghentikan Haikal dari lamunan. Perhatiannya teralih pada tas di atas nakas. Di dalamnya terdapat dua buah ponsel. Yang satu bergetar karena pemberitahuan to-do-list: dengar jurnal! Satu lagi karena panggilan masuk, dari Andre.

Haikal menerima panggilan dari Andre. Ia telah mendengar dari Anna, orang yang telah menyelamatkan hidupnya adalah Andre. Lelaki itu mengangkatnya dari sungai dan memberinya kehidupan baru. "Assalamu'alaikum," sapanya tulus.

Hening sejenak. "Shalom," suara dari seberang sana menjawab.

"Ah, ya, maaf."

"Hmm, apa Anna ada?" suara Andre agak bergetar.

"Ya. Dia sedang tidur."

"Oh, nanti saya telepon lagi."

"Ya." Haikal menimbang sejenak. "Apakah Anda, Andre yang menyelamatkan istri saya?" tanyanya mengkonfirmasi.

Jurnal HaikalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang