Beranjak malam, suhu tubuh Haikal tidak menurun. Meski sore tadi sudah diberi tablet paracetamol yang dibelikan Randi, tetap saja demamnya makin menghebat. Anna mulai curiga, demam seperti ini tidak mungkin disebabkan terlalu lama tidur di lantai.
"Apa kita bawa ke rumahsakit?" tawar Randi, "ini sekalian aku balik ke rumahsakit."
"Ngga usah, kita observasi dulu malam ini. Kalo besok makin parah, baru kita bawa ke rumahsakit." Mami dan Papi juga setuju. Meski begitu, untuk berjaga-jaga, Aziz tetap dijauhkan dari kamar Raisa. Dia merengek-rengek minta bertemu dengan Haikal untuk memamerkan bola barunya.
Pukul tujuh malam, Anna membawakan makan malam untuk Haikal. "Aku loh yang bikin supnya, kamu wajib makan sampe abis, yah," katanya seraya menuang kuah sup banyak-banyak ke dalam mangkuk berisi nasi.
"Aku ngga laper," Haikal menjawab sambil menyembunyikan wajah ke dalam tumpukan bantal.
Anna mengembuskan napas sambil geleng-geleng kepala. Kelakuan lelaki dewasa satu ini rasanya lebih parah daripada anak-anak Pak Halim ketika sedang sakit. "Yakin, nih ngga mau?"
Bantal di depan Anna bergerak-gerak.
"Ya udah. Tadinya sih, kalo kamu ngabisin semangkok ini, aku bakal peluk kamu semalaman." Anna melirik respon si bantal. "Apalagi kalo sampe nambah, trus diabisin juga. Aku kasih lima ciuman, deh."
Bantal itu terbuka seketika, menampilkan wajah Haikal yang pucat tapi cukup bersemangat. "Sepuluh?" dia berusaha menawar.
Anna menelan ludah. "Ngga jontor bibirnya?"
Dalam hati ia bersorak. Nasi di mangkuk memang superbanyak. Kalau sampai Haikal berhasil menandaskannya, sudah pasti tak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebenarnya target Anna hanya separuh beralih ke perut si sakit. Itu saja sudah prestasi luarbiasa.
Sesuai perkiraan, baru habis seperempat mangkuk, tingkat malas-malasan Haikal mulai meningkat. "Aku udah kenyang," katanya memelas.
"Dikit lagi, aku suapin, ya?"
Haikal menatap mangkuknya. "Kayanya kamu nyendokin nasi kebanyakan, deh," wajahnya yang sudah kuyu makin tampak menyedihkan.
Mati-matian Anna menahan tawa. Ternyata otak Haikal tidak ikut terkena imbas demam. Dia masih bisa berpikir. "Ngga, kok," Anna membela diri, "biasanya juga kamu makan segitu."
Akhirnya target Anna terlampaui. Nasi di mangkuk tersisa seperempat. Memang lebih sedikit dari porsi Haikal saat sedang sehat, namun ini jauh lebih baik.
"Aku yakin kamu ngasihnya kebanyakan," rengut Haikal.
Dalam hati Anna tertawa.
"Dan pake iming-iming apa itu? Emangnya aku anak kecil? Huh!" Haikal kembali menutupi kepalanya dengan bantal.
Anna menggigit bibir agar tak meledakkan tawa. "Selamat tidur," katanya mengecup punggung tangan Haikal yang meremas bantal.
***
Setelah shalat isya, Haikal kembali tidur. Iseng-iseng Anna mengukur suhu tubuh lelaki itu. "41?! Ya Tuhan!" Paracetamol ternyata tidak mempan menurunkan suhu tubuhnya. Bibirnya terlihat makin pucat sekaligus kering. Wajahnya pun makin putih mengerikan.
Cepat-cepat Anna turun dari tempat tidur dan menyambar kunci mobil di atas nakas. "Haikal! Kita ke rumahsakit!"
Yang dipanggil sama sekali tak membuka mata. Anna menarik tangannya agar bangun. "Hmm?" Haikal sedikit membuka kelopak mata.
"Kita ke rumahsakit! Jalan dikit ke mobil," kata Anna menekan kecemasan.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/190805003-288-k501947.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Haikal
RomanceIngatan Haikal hanya bertahan selama 24 jam. Setelah itu, ia akan kembali pada hari yang tak ingin diingat selamanya. *** Cerita ini merupakan lanjutan dari Bulan Madu. Silakan membaca kisah Haikal dan Raisa di Bulan Madu untuk mendapatkan pengalama...