Hanya Hari Ini!

560 57 24
                                        

Semua diputuskan malam itu juga. Karena besok adalah hari baru, Haikal tidak akan bisa memiliki pertimbangan yang sama persis dengan hari ini. Dia berencana melupakan semua yang terjadi hari ini. Membiarkan Anna hidup tanpa perlu terganggu oleh bayang-bayang Raisa. 

Sayangnya, urusan administrasi tak bisa diselesaikan malam ini karena kantor telah lama tutup. "Oke, kalo gitu, semua urusan administrasi nanti selesaikan saja dengan Bu Anna, ya," kata Haikal menyudahi percakapan.

***

"Maksudnya gimana? Urusan administrasi diserahkan pada saya?" tanya Anna panik ketika mereka berjalan menuju parkiran.

Haikal terus melangkah tanpa mempedulikan kepanikan dalam suara Anna. 

"Pak?" Anna menarik lengan Haikal agar berhenti.

"Jangan membicarakan hal seperti ini di jalanan. Kita bicarakan setelah duduk dengan tenang." Diserahkannya helm pada Anna.

Dia menerima helm dengan cemberut. Hatinya kesal sekali.

***

Kereta menuju Bogor baru saja tiba ketika mereka sampai di peron. Dengan sedikit terengah Haikal menghempaskan bokong di bangku. Berlari mendaki eskalator benar-benar menguras tenaga. 

Jam menunjukkan pukul sepuluh lewat. Para pekerja yang sore tadi menyesakkan setiap gerbong kini hanya tinggal satu-satu. 

"Apa ini sudah bisa disebut duduk tenang?" suara Anna terdengar mendesak, berusaha meredakan ritme jantung yang baru saja bekerja keras.

Haikal mengembuskan napas ke udara. Hanya ada mereka berdua di gerbong nomor lima. Angin dari pendingin ruangan terasa lebih sejuk dari biasa. 

"Pak?"

Haikal mencari kata untuk memulai bicara. "Ingatan saya hanya bertahan 24 jam. Besok semua akan di-reset lagi. Segala transaksi yang kita bicarakan tadi akan saya lupakan. Jadi, saya mengandalkanmu untuk melanjutkan. Ingat-ingat semuanya."

Jantung Anna seperti berhenti berdetak. Dia sendiri tak begitu memperhatikan apa saja yang dibicarakan Haikal dengan si sales. Sekarang tiba-tiba seonggok gunung seolah baru saja ditimpakan ke atas kepala.

"Saya akan transfer uangnya." Haikal mengeluarkan ponsel dari tas. "Berikan nomor rekeningmu."

Anna menelan ludah. Yang benar saja. Transaksi tadi melibatkan uang dalam hitungan milyar, dia belum pernah melihat angka sebanyak itu dalam catatan rekening. "Bapak, tolong jangan bercanda," suaranya gemetar.

Haikal menggeleng. "Biar gampang urusan administrasinya, pake KTP-mu aja."

"Maksud Bapak?" Sekarang Anna merasa akan pingsan. 

"Yah, nanti kamu urus baik-baik apartemennya."

"Sebentar, Pak! Saya jadi pusing. Maksudnya gimana, nih? Bapak ngga lagi ngasih apartemen ke saya, kan?"

"Kalo iya, kenapa? Kamu kan istri saya, wajar aja, kan?"

"Bapak!" antara cemas, khawatir, dan kesal, Anna setengah berteriak, "saya udah bilang berkali-kali, saya ngga pernah ngerasa jadi istri Bapak."

Haikal menarik napas. "Iya, saya tahu." Disandarkannya punggung dengan lemas. "Saya tahu, karenanya saya ngga akan merekam apa pun peristiwa hari ini. Besok betul-betul akan jadi hari yang baru. Saya akan melupakan bahwa hari ini saya telah menemukan Raisa." Kesedihan mencuat dari kalimatnya.

Rasa bersalah sedikit melingkupi Anna. Hampir saja ia ikut menangis karena empati. "Maaf."

Suara roda kereta menggilas rel terasa begitu menekan. Angin dari pendingin ruangan menyapu wajah Anna, memberikan rasa dingin yang hampir menggigilkan. Dia tak bisa memastikan apa yang ada dalam pikiran Haikal. Lelaki itu menyandarkan kepala pada kaca jendela. Matanya menatap kosong langit-langit.

Jurnal HaikalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang