Menu hari ini adalah kesukaan Andre, udang salut tepung dan salad sayuran. Serasa makan fast food ala Jepang. Bedanya, Anna menyiapkan salad sayuran memenuhi setengah kotak makan. Pemuda itu tidak begitu menyukai sayuran, tapi kalau tidak dimakan, jumlah nasi yang disediakan tak cukup mengganjal perut kosongnya sampai waktu makan malam.
Di antara kerumunan para lelaki yang bersiap untuk shalat Jum'at, Andre menemukan sosok Haikal sedang duduk di tepi pelataran masjid sambil menyurukkan kepala dalam lengkung kedua lengan. Kondisi sang direktur tak terlihat setegar biasa. Andre dapat membayangkan perdebatan yang mungkin harus ia tempuh di ruang rapat tadi. Pasti tak mudah membuat perusahaan mengambil keputusan berdasarkan kemanusiaan alih-alih hitungan untung-rugi.
"Kamu tahu," kata Andre sembari mencomot sebuah udang bersalut tepung tebal, "semua kekacauan ini terjadi demi kamu."
"Hmm?" Anna menghentikan gigitannya pada udang.
"Semua ini desainnya Pak Haikal," Andre berbisik, seolah khawatir angin dapat menerbangkan kata-katanya.
"Maksudnya?" Anna tak percaya Haikal dengan sengaja mengacaukan pekerjaannya.
Andre tersenyum geli. Dia sendiri susah percaya sebenarnya. "Kalo nanti kamu dipecat, ini kesempatan buat ngambil kuliah di Oxford, kan?"
Anna nyaris tersedak.
"Pekerjaan ini ngga penting, perjalananmu mencari kebenaran, itu lebih penting," Andre menjelaskan dengan suara yang sangat direndahkan, "siapa pun bisa gantiin kamu jadi manajer, tapi perjalanan mencari kebenaran ngga bisa didelegasikan."
"Itu, Haikal yang bilang?"
Andre tertawa kecil. "Ngga, sih. Itu kesimpulan aku aja, setelah semalaman mikirin skenarionya Pak Haikal." Tawanya makin terdengar kegelian. "Gila, tuh orang. Bisa banget mikir kaya gitu."
"Tapi kenapa?" Anna masih belum dapat memahami logika berpikir yang baru saja ia dengar.
Andre mengedikkan bahu. "Mungkin dia sayang banget sama kamu," kalimatnya disertai desahan panjang. Mata pemuda itu menangkap Haikal yang sedang mengantri wudhu di luar area toilet. "Seandainya dia Katolik, aku rela sepenuh jiwa kamu sama dia."
Anna menoleh, mengangkat alis dan tertawa.
"Beneran! Kamu dijamin bahagia sama cowok kaya gitu," Andre berkata penuh keyakinan, "dia ngga akan mungkin nyakitin kamu."
Gadis itu melempar pandang pada jejeran lelaki yang mengantri wudhu. Di sana, Haikal berdiri dengan tangan kemeja terlipat hingga di atas siku. Lengan kekarnya seolah bercahaya terpapar sinar matahari.
Anna masih ingat rasanya, ketika lengan itu mendekap penuh hasrat. Rasa yang tak mungkin terlupa. Meski berkali-kali logika menyangkal dengan segala daya.
"Tapi dia muslim," tiga kata dari Andre menghempaskan Anna kembali pada kenyataan. "Kalian ngga mungkin bisa bahagia bersama. Perbedaan itu pasti akan jadi ganjalan."
Anna mencomot salad dari kotak makan siangnya. Rasa manis asam mayonais memenuhi indera pengecap. Dia tak akan membantah Andre. Lelaki itu hanya menyodorkan apa yang lama telah berkecamuk di benak.
"Jadi, kamu carilah kebenaran itu. Yakinkan hatimu dengan pengetahuan yang benar. Ketika kamu udah yakin, nanti, aku tunggu kamu di sini." Satu senyuman mantap diulas Andre untuk Anna.
Gadis itu membalas dengan segaris senyum lemah. Selarik napas diembuskan perlahan. Bukan itu tujuannya mencari kebenaran. Dia hanya ingin membuktikan pada Haikal bahwa kebenaran ada di pihaknya. Dengan begitu, lelaki itu mau tak mau harus mengikuti langkahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Haikal
RomanceIngatan Haikal hanya bertahan selama 24 jam. Setelah itu, ia akan kembali pada hari yang tak ingin diingat selamanya. *** Cerita ini merupakan lanjutan dari Bulan Madu. Silakan membaca kisah Haikal dan Raisa di Bulan Madu untuk mendapatkan pengalama...