Prolog

1.5K 73 9
                                    

Anna mematut diri di cermin toilet. Lengan kemeja merah muda pupus telah terkancing sempurna. Rok A-line sepanjang betis pun masih sangat rapi tanpa kerut yang berarti. Jarinya menyisir arah jatuh poni di kening. Sebaris senyum kemudian merekah. "Semangat!" Dikepalkannya tangan di depan dada.

Hari ini akan jadi kali pertama ia melakukan wawancara kerja. Bulan lalu Pak Halim telah memberikan rekomendasi sangat bagus untuk bekerja di sini. "Bank Mayartha mau bikin daycare," katanya, "cobalah kamu melamar ke sana. Nanti saya buatkan surat rekomendasinya."

Pak Halim adalah majikannya terdahulu. Selama lebih dua tahun, Anna menjadi babysitter untuk dua orang putra kecil keluarga itu. Sayang, kemudian dia terpaksa berhenti karena Pak Halim dipindahkan ke Palangkaraya untuk menjadi kepala cabang di sana.

Untunglah, bank tempat Pak Halim bekerja membuka lowongan untuk menjadi manajer day care. Anna tak menyia-nyiakan kesempatan ini.

Anak-anak adalah kebahagiaannya. Mereka selalu punya cara untuk memandang dunia dari sisi yang menyenangkan. Berada bersama bocah-bocah tanpa dosa selalu meluapkan kegembiraan dalam diri. Mereka adalah orang-orang yang hidup di masa kini, menikmati masa kini, tanpa peduli apa yang terjadi di masa lalu.

Pintu ruang rapat terbuka dan seorang perempuan berdiri di pintu. "Anna Magdalena Wulansari!" panggilnya seraya mengedarkan pandang ke sekeliling.

"Ya!" Anna berdiri cepat, menyandang tasnya lalu mengikuti perempuan itu memasuki ruang rapat. Tangannya menangkup di dada seraya berdoa di dalam hati, "Allah Bapa kami Yang Maha Pengasih, bantulah aku melewati wawancara ini. Amin."

Ruangan yang dimasuki Anna tidak terlalu besar. Sebuah meja oval berada di tengah. Delapan kursi hitam yang dapat disesuaikan tingginya disusun rapi di sekeliling.

"Silakan duduk," perempuan tadi menunjuk kursi di ujung meja yang terdekat dengan pintu.

"Terimakasih," Anna berusaha meredam detak jantungnya. Di hadapannya duduk dua orang perempuan dan seorang lelaki berkemeja rapi dengan dasi biru bergaris putih melingkar di leher.

Lelaki itu menatapnya tajam hingga membuat jantung Anna berdegup lebih cepat. Wawancara ini mungkin akan lebih buruk dari yang ia pikirkan.

"Selamat siang, Mbak Anna Magdalena Wulansari. Panggilannya Anna?" perempuan tadi memulai pembicaraan yang direspon dengan anggukan canggung dan sebaris senyum.

"Terimakasih sudah melamar ke Bank Mayartha sebagai manajer day care," dia melanjutkan tanpa melepaskan senyum ramah dari bibir. Senyuman yang membuat Anna sedikit lebih rileks.

"Sebelumnya perkenalkan, saya Maya Sutrisna, Direktur HRD. Di sebelah kanan saya, Ibu Nisrina Hanafi, Sekretaris Utama. Dan yang paling ganteng di ruangan ini, Pak Ahmad Haikal Ramadhan, Direktur Resource Centre."

Anna mengangguk memberi hormat pada orang-orang yang ada di depannya. Bu Nisrina membalas dengan senyuman disertai anggukan samar. Namun Pak Ahmad ini masih menatap tak berkedip. Jangankan membalas anggukan hormat, bernapas pun sepertinya ia sudah lupa.

Pertanyaan demi pertanyaan dari Bu Maya dan Bu Nisrina dijawab Anna dengan mudah. "Dari saya sudah cukup. Bu Nisrina, ada yang mau ditambahkan?" Bu Maya bertanya dan dijawab dengan satu gelengan ditambah senyuman ramah.

"Pak Haikal, apakah ada yang ingin ditanyakan?" Bu Maya bertanya begitu karena sejak tadi lelaki ini hanya diam memperhatikan kandidat manajer baru di hadapannya.

"Pak Haikal?" Bu Maya menendang pelan kaki lelaki di sampingnya. Darah Anna ikut tersirap. Haikal, nama itu menghentikan napas sekali tebas.

"Ah? Oh, ya. Ada." Dia membuka map berisi CV Anna dan langsung bertanya, "Di sini tidak dijelaskan mengenai riwayat pendidikan, apakah Anda tidak pernah sekolah?"

Bu Maya menepuk keningnya seraya geleng-geleng kepala. "Kita udah nanyain itu tadi, Pak," bisiknya menahan kesal.

Anna melepaskan satu senyum pemakluman. Ternyata Bapak ini dari tadi melamun. Dia menyesal sudah salah sangka padanya. "Sepanjang yang saya ingat, saya hanya tinggal di susteran, Pak. Jadi saya sama sekali tidak punya rekam jejak pendidikan formal," gadis itu menjawab jauh lebih santai dari sebelumnya.

Pak Haikal mengangguk-angguk lalu membolak-balik CV lagi. Sebenarnya yang ingin ia tanyakan tak ada sangkut pautnya dengan berlembar-lembar kertas dan surat rekomendasi ini. Dia sungguh penasaran dengan cincin platina yang melingkar di jari manis gadis itu.

"Anda mengenakan cincin di tangan kanan, apakah itu artinya Anda sudah menikah?"

Bu Maya mendeham, menghentikan mulut Anna yang sudah hampir terbuka. "Saya kira itu pertanyaan pribadi, Pak. Baiknya Anda tanyakan nanti di luar ruang wawancara ini." Tatapannya tajam membungkam Pak Haikal. "Maaf, ya, Mbak Anna. Anda sudah menikah atau belum menikah tidak akan mempengaruhi penilaian kami. Bahkan jika Anda sudah memiliki anak sekali pun, Anda tetap bisa membawanya saat bekerja. Bukankah kita akan membuka day care?" Senyum Bu Maya menutup rangkaian wawancara itu.

Anna keluar ruangan dengan lega. Setelah menutup pintu, ia berhenti sejenak untuk memanjatkan rasa syukur, "Bapa kami di surga. Dikuduskanlah nama-Mu. Kami bersyukur atas apa yang telah Engkau berikan hari ini. Terimakasih sudah membantuku melewati wawancara ini. Amin."

***

"Pak Haikal, segitu ngga sabarnya pengen tahu masih available apa ngga. Tuh, sekarang orangnya udah di luar. Tanyain, gih!" Bu Maya mulai langsung meledek begitu Anna menutup pintu dari luar.

"Ngga usah," Haikal merapikan semua berkas di depannya lalu berkata, "next?"

"Udah selese. Itu tadi yang terakhir," jawab Bu Nisrina sembari meregangkan badan.

"Makanya konsentrasi, Pak. Baru liat yang cakep dikit, langsung galau, hahaha," Bu Maya meledek lagi.

"Kayanya tipenya Pak Haikal, ya? Kita terima, Pak? Biar lancar pedekate-nya," timpal Bu Nisrina disambut gelak Bu Maya.

"Ayo, semangat, Pak! Udah waktunya move on, nih. Udah tiga tahun, kan ya?" lagi-lagi Bu Maya mengompori dengan tatap menggoda.

Dasar ibu-ibu. Sebenarnya bukan itu masalahnya. Haikal benar-benar penasaran dengan gadis ini. Kemiripannya dengan Raisa sungguh mengagumkan. Wajahnya, rambutnya, bahkan suaranya pun membangkitkan semua kenangan. Dia seolah melihat Raisa hidup kembali.

Awalnya ia berpikir ini hanya sekadar mirip. Toh ada banyak orang yang mirip di dunia ini. Namun cincin platina di jari manis gadis itu membuatnya makin penasaran. Mungkinkah terukir namanya di sana?

Tapi kenapa namanya Anna?

Kenapa agamanya Katolik?

Kenapa usianya baru 24 tahun?

Kenapa dia tinggal di susteran?

Kenapa, kenapa, kenapa?

Itu sebabnya, tak mungkin gadis itu Raisa.

Jurnal HaikalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang