Anna mulai terbiasa dengan tatapan pertama Haikal tiap hari. Percampuran antara terkejut, bahagia, tak percaya. Dia mulai menikmatinya.
Tapi hari ini, perhatian Haikal teralih pada perempuan itu. Dia cantik, seperti boneka barbie dengan seragam karyawan Mayartha. Wajahnya tanpa cela, setitik bekas jerawat pun tiada. Anna merasa bibirnya gatal hendak memaki. Meski ia sadar, paras serupa itu harusnya menuai pujian.
"Sepertinya kalian banyak bicara di rumahsakit kemarin," suara Maryam sengaja dipelankan, membuat Anna ingin melesat masuk ke antara mereka.
"Hmm?" Haikal sedikit mendekatkan telinganya ke arah Maryam agar dapat mendengar lebih jelas lagi. Anna tertawa dalam hati. Mana mungkin lelaki itu bisa ingat apa saja yang sudah dia bicarakan.
"Amran udah cerita," Maryam diam sejenak, memberi jeda untuk napasnya sendiri, "soal ta'aruf itu, kami akhirnya sepakat."
Haikal mengangguk. Menatap lurus ke depan, ke pantulan mereka pintu elevator. "Alhamdulillah," sahutnya lirih dan mantap.
Anna menelan ludah. Meski lamat-lamat, dia bisa mengerti apa yang dibicarakan kedua orang di sisinya. Soal ta'aruf itu, membuat hatinya mencelos ke lantai.
"Day care bukannya di lantai 7?" Haikal menoleh pada Anna.
"Oh?" Anna memandang angka penunjuk lantai dengan panik. Panel digital itu mengedipkan angka sembilan. "Astaga! Aku lupa mencet tombol lantai!"
Lift berhenti di atap. Pintu terbuka dan Maryam pamit untuk keluar duluan. Haikal mengikutinya setelah sedikit mengangguk pada Anna sebagai tanda perpisahan. Kemudian menjajarkan langkah dengan si gadis barbie tanpa menoleh lagi.
Anna menatap punggung lelaki itu dengan napas tersekat. Ada sesuatu yang terasa hilang. Ada sesuatu yang sangat ingin ia raih. Tapi tangannya tak sampai, kakinya kurang panjang. Dan pintu elevator pun menutup. Mengurungnya sendiri dalam kotak besi yang terus bergerak turun.
***
Nayla, salah seorang dari staffnya di Day Care tergopoh-gopoh menghampiri ketika Anna baru tiba. "Ditunggu orangtua di kantor, Bun," katanya dalam nada cemas.
Anna mengangkat alis. "Ada apa?" Di dalam benak ia berusaha menyusun berbagai peristiwa kemarin yang mungkin memicu kedatangan para orangtua anak-anak asuhan mereka ke sini. Namun sampai ia membuka pintu ruang kerja, tak satu pun yang terasa janggal.
"Selamat pagi, bapak-bapak, ibu-ibu," katanya menyapa tiga pasang orangtua yang tampak menunggu dengan wajah kesal berbalut cemas. Salsa yang menemani mereka berbincang dengan tenang.
"Pagi Bu Anna," seorang bapak membalas sapaan sang manajer Day Care. Tampaknya dia didapuk menjadi juru bicara. "Begini, Bu. Kami datang kemari untuk mengkonfirmasi cerita dari anak-anak kami."
Anna mengangguk tanpa melepaskan senyum. "Cerita apakah, Bapak?"
Bapak itu berdeham ringan. "Menurut Azka, kemarin dia mendapat cerita tentanga Nabi Ibrahim. Apa benar?"
"Oh," Anna tersenyum mengangguk. "Benar sekali, Bapak. Kami sepakat bahwa menanamkan keimanan pada anak-anak merupakan langkah awal dalam membentengi anak dari berbagai serangan modernisasi yang sangat rentan berbalik arah menjadi pemicu gangguan jiwa. Karenanya atmosfer keimanan itu kita ciptakan sejak memulai hari dengan menuturkan kisah-kisah inspiratif dari kitab suci."
"Kitab suci siapa?" bapak tadi buru-buru memotong.
Anna sudah mengantisipasi pertanyaan serupa. Karenanya ia tersenyum maklum. "Tentu saja dari kitab suci masing-masing anak. Untuk anak-anak muslim, Bunda Salsa yang menuturkan kisah. Saya hanya berkisah pada anak-anak asuh kita yang beragama Katolik."
![](https://img.wattpad.com/cover/190805003-288-k501947.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Haikal
RomanceIngatan Haikal hanya bertahan selama 24 jam. Setelah itu, ia akan kembali pada hari yang tak ingin diingat selamanya. *** Cerita ini merupakan lanjutan dari Bulan Madu. Silakan membaca kisah Haikal dan Raisa di Bulan Madu untuk mendapatkan pengalama...