Mundur!

427 48 12
                                    

"Katanya kamu mau ngasih pelatihan mendongeng buat staff Day Care?" Haikal memecah sunyi setelah beberapa suapan.

Anna mengangguk tanpa berhenti mengunyah. "Sebenernya aku ga tahu gimana cara melatihnya," ujarnya setelah tuntas menelan, "mendongeng itu, kan cuma kaya curhat gitu."

Spontan, tawa Haikal tersembur.  Cepat-cepat ditenggaknya air dari tumbler. "Buat kamu, iya gampang. Lah, buat yang lain?"

Bibir Anna membulat demi mendengar respon Haikal. "Tetep, aku bingung gimana caranya." Kemudian memasukkan suapan terakhir ke dalam mulut.

Haikal merapikan kotak makannya dan kembali meraih tumbler.

"Mana tadi pagi malah lebih parah," Anna masih melanjutkan kesah, "anak-anak ga ada yang mau dengerin cerita dari Salsa. Semua mau dengerin cerita sama aku. Kan bingung jadinya."

Haikal memajukan badan menyimak dengan antusias.

"Apa aku harus ganti cerita yang lebih universal? Tapi tujuan menanamkan keimanan jadi ngga tercapai nanti," lanjut Anna lemah. "Kalo aku keukeuh ngasih cerita dari Alkitab, nanti orangtua yang muslim protes lagi. Padahal anak-anak mereka sendiri yang maunya dengerin ceritaku. Apa aku salah?"

Jemari Haikal terjalin di depan bibir, berpikir sembari menahan diri agar tak sembarang melontar kata. 

"Nasib, ya jadi minoritas. Coba kalo yang terjadi sebaliknya..." Anna tak melanjutkan kata-katanya.

Haikal menghela napas. Disandarkannya punggung pada sandaran kursi nan empuk. Dada bidang itu berayun-ayun terkena efek pegas yang tertanam di balik jok kulit sintetis. 

Menjadi mayoritas memang punya keunggulan tersendiri. Jika protes akan ada banyak yang mendukung. Apalagi di Indonesia, tempat yang ditinggali populasi manusia-manusia sugestif. Tinggal colek sedikit, maka tersulutlah. Haikal sangat menyadari kondisi ini dan berencana memanfaatkannya.

"Kamu masih pengen ke Oxford?" sang direktur seolah mengubah arah pembicaraan.

Anna mengangkat alis lalu tertawa geli. Baginya itu pertanyaan aneh. "Masihlah, tapi tetep ngga bisa sekarang. Harus nunggu dua tahun lagi." 

"Kelamaan," potong Haikal, "gimana kalo bisa sekarang?"

Alis perempuan di seberang meja sang direktur nyaris bertaut. 

Haikal tersenyum. "Mau?"

Anna memajukan badan. Benaknya dibanjiri rasa ingin tahu. "Gimana caranya?"

Senyum di bibir Haikal makin bersinar. "Lakukan yang terbaik buat membantu staff day care biar bisa mendongeng dengan baik."

Alis Anna terangkat, benaknya kesulitan mencerna maksud Haikal.

"Sisanya, kita tinggal arahkan ke jalan yang benar." Haikal mengulas senyum penuh rahasia.

***

Tak perlu menunggu hari berganti, grup kajian kembali dihebohkan persoalan anak-anak yang mendengarkan dongeng Anna. "Untungnya tadi ceritanya tentang Nabi Yusuf, jadi ngga jauh beda," begitu laporan awal di grup.

Ingatan Haikal melayang pada masa perjumpaan pertamanya dengan Raisa. Ketika itu juga cerita Nabi Yusuf yang dikisahkan.

"Ngga bisa gini terus. Biar pun dia udah mau ngajarin yang lain gimana caranya ngedongeng, tapi tetep aja, waktu terus berjalan," yang lain menyahuti. "Anak-anak kita keburu lebih familiar dengan cerita-cerita Alkitab daripada kisah-kisah Alqur'an," dia menambahkan.

Jurnal HaikalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang