Kalut

507 54 6
                                    

Oxford adalah sebuah kota. Bukan, sebuah universitas. Raisa kesulitan memilih antara dua kata itu begitu menjejakkan kaki di sana. Seluruh kota adalah universitas, tempat belajar. Perpustakaan ada di mana-mana, mahasiswa ada di mana-mana. Di sini, dia baru merasakan bagaimana sesungguhnya kota pelajar itu.

Hari-hari pertama, larut dalam perayaan keindahan Oxford. Gedung-gedung dengan dinding bata merah atau coklat muda sewarna lempung, mengingatkannya pada film-film Harry Potter. Pedestrian lebar yang cukup untuk lewat dua mobil berpapasan membuat acara jalan-jalan terasa melegakan.

Di sini ia belajar untuk memperhatikan prakiraan cuaca sebelum keluar rumah. Meski tak bisa dipercaya seratus prosen, tetap saja didengarkan untuk berjaga-jaga. Raisa datang ketika musim gugur sedang pada puncaknya. Matahari kadang muncul kadang tidak. Bagaimana pun, ia selalu sedia payung, seperti ketika tinggal di Bogor dulu. Sebab, yang disebut no sign of rain oleh forecaster, bisa jadi berarti light rain in the middle of the day.

Dia juga belajar mengatur waktu dengan jadwal kuliah yang ketat. Menghadiri perkuliahan, menulis essay, riset pustaka, sesi tutorial bersama profesor, agenda pekanannya sungguh padat. Namun gadis itu menjalani dengan penuh semangat. Terbayang baginya momen kemenangan ketika ia mengundang Haikal untuk menunjukkan kebenaran. Yes! Masa itu pasti datang!

Sialnya, semakin banyak yang ia pelajari, semakin banyak buku yang ia baca, semakin kalut pula pikirannya. Diskusi dengan profesor bukannya menambah keyakinan malah mempertebal kegalauan.

"Saya kira argumen Anda terlalu lemah," kata sang profesor pengampu mata kuliah Biblical History. "Apakah kemiripan kisah Alkitab dengan kisah-kisah dalam kitab suci agama lain merupakan bukti bahwa kisah tersebut nyata? Bukan alegori yang membutuhkan penafsiran lebih lanjut?"

Kedua alis Raisa hampir bertaut, berusaha memikirkan letak kesalahan argumennya.

"Kalau begitu, dengan argumen yang sama, maka kita bisa menyimpulkan bahwa kisah Zeus, kisah Ra, juga kisah Odin adalah kisah nyata, bukan sekadar mitos."

Raisa jelas tak terima. 

"Kisah-kisah tersebut tersebar lebih luas dibanding kisah-kisah dalam Alkitab. Penyebarannya mulai dari Normandia di utara, hingga Mesir di selatan. Bahkan variasinya juga ditemukan dalam mitos penciptaan dunia dalam budaya Jepang."

Raisa menelan ludah. Gagap melanjutkan. Di benak seketika terbayang susunan rencana kunjungan ke perpustakaan. 

Semakin banyak yang dibaca, semakin dalam kegalauan mendera. Dia sampai pada kesimpulan bahwa Alkitab mungkin salah. Dan jika apa yang dijadikan pedoman hidup tak lagi dapat dipercaya, bagaimana ia bisa hidup?

Kepalanya pening. Seolah ada pusaran hebat mengaduk seisi benak. Tak berani tidur, dia takut, kalau-kalau saat sedang tak sadarkan diri, nyawanya menghilang. Padahal kebenaran belum tergenggam tangan.

Sehari tak tidur, gadis itu mulai senewen. Konsentrasinya buyar. Telur ayam yang didadarnya di wajan berakhir menjadi telur panggang hitam. "Kamu butuh tidur, Rice!" teman satu flat-nya mengingatkan.

"Yeah!" dia menjawab dan masuk ke kamar. Tapi masih tak berani tidur. Bahkan memejamkan mata pun takut.

Di hari ketiga, Linda, teman satu flat-nya benar-benar khawatir. "Kamu pucat sekali, Rice. Kamu harus tidur. Aku akan keluar membeli obat tidur. Kamu harus tidur, okay?" Dia bicara cepat dengan aksen British yang kental.

Raisa mengusap kening dengan gemetar. Kepalanya mengangguk lalu masuk kamar lagi membawa tumbler yang telah penuh terisi air.

Ini aneh sekali. Biasanya stress akan membuatnya mudah tertidur. Tapi sekarang, tekanan terasa begitu tinggi tapi dia benar-benar takut tertidur. Jantungnya berdebar-debar, tangannya gemetar.

Jurnal HaikalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang