Move On

459 53 12
                                    

Betapa banyak yang terjadi hingga hari ini. Haikal mendengarkan jurnal seperti mendengar reviu sinetron kejar tayang. Bertemu Raisa lagi, lalu berpisah hanya selang dua hari. Diagnosis leukemia akut dengan prognosis tidak begitu baik. Masa hidupnya hanya tinggal beberapa tahun lagi. Paling bagus lima tahun. Bagaimana pun, dokter mengharapkan penambahan waktu dengan terapi beserta obat-obatan.

Yeah! Penambahan waktu, bukan penyembuhan. Hanya menambah beberapa kali 24 jam lagi, no big deal. Meski dokter optimis sel-sel kanker akan dapat dibasmi total, tetap saja tak bisa dikatakan Haikal akan terbebas 100% dari kanker. 

"Sekarang hanya menghambat sel-sel dari menyebar ke bagian lain. Setelah itu, jika pun semua yang ada sekarang sudah mati, tetap saja ada kemungkinan sel kanker muncul di tempat lain," begitu Haikal merekam kesimpulan dari dokter. "Jadi sebenarnya solusi terbaik adalah menjaga pola hidup, termasuk pola makan," lanjutnya lagi. "Untungnya udah punya chef handal yang sangat concern dengan kesehatan. Thanks to Anna, she really is the best!" 

Haikal menghela napas. Tak mudah melepaskan gadis itu. Tapi syukurlah, dari apa yang ia dengar di jurnal, tampaknya mereka sudah jadi sahabat baik. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. 

"Anna sedang mempersiapkan pernikahan dengan Andre. Mereka mengikuti proses pranikah yang melibatkan semacam pendidikan untuk calon pasutri di katedral, tempat prosesi pemberkatan akan dilaksanakan," itu yang didengar Haikal di jurnal.

Ada sedikit iri bercampur sejumput cemburu terbit di hati. Namun dirinya di hari-hari yang lalu meyakinkan bahwa ini adalah jalan terbaik. Lagipula, Anna terlihat sangat bahagia, tak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Jangan lupa, kita akan ketemuan secara resmi dengan Maryam hari Sabtu. Siapkan pertanyaan yang tepat, aku curiga dia sebenarnya hanya mengharapkan uang kita. Oya, jelaskan dengan baik tentang penyakit kita dan soal amnesia parsial. Apa kira-kira dia siap dengan semua itu?"

Haikal melepaskan earphone dan mengemasnya dalam tas. Rasanya sudah cukup mendengar jurnal hari ini. Kepalanya sudah penuh dengan jalinan memori yang mengaduk emosi. 

Di depan elevator seorang karyawati sedang menunggu pintu terbuka. "Maryam?" Haikal mengenalnya dari foto yang ditampilkan di video My Life So Far.

"Pak Haikal," dia mengangguk dan tersenyum lalu kembali menghadap pintu lift.

Haikal merasa geli melihat Maryam yang tampak canggung berhadapan dengannya. "Haikal aja, kalo boleh," katanya tanpa mengalihkan pandang dari pintu elevator. 

"Baik, Haikal," dia mengangguk pada bayangan Haikal di pintu. Dari situ, senyum gadis itu terlihat manis sekali.

Suara dentingan mengingatkan untuk bersiap memasuki ruang kecil berpintu mengkilap itu. Mereka berdua masuk begitu bilah pintu terbuka, diikuti beberapa orang yang juga sudah menunggu dengan sabar.

"Udah siap buat Sabtu?" tanya Haikal dengan merendahkan suara hampir seperti bisikan, khawatir kerumunan orang di ruang sempit ini ikut menguping tanpa sengaja.

"InsyaaAllah." Maryam mengangguk dan tersenyum sekilas.

Aih, gadis ini suka sekali tersenyum. Senyumannya pun memiliki level kemanisan tingkat tinggi hingga Haikal khawatir akan terserempet diabetes. Sedikit berbeda dengan para CS yang memang terlatih untuk tersenyum dalam situasi apa pun, senyuman yang digariskan Maryam terasa jauh lebih tulus.

Satu demi satu penumpang lift turun di lantai yang dituju. Hingga tak ada orang lagi ketika lift mencapai lantai empat. Haikal baru sadar bahwa ia belum menekan lantai tujuan. "Lantai berapa?" tanyanya sambil menekan tombol untuk mengantarkan ke atap.

Jurnal HaikalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang