Waktu Yang Tepat Untuk Berpisah

467 54 14
                                    

Ponsel Anna berdering ketika ia baru saja tiba di apartemen. "Malem, Haikal. Udah ngga sabar, ya?" 

"Hehehe. Iya, udah kangen, nih."

Anna membatu. Jawaban Haikal sama sekali tak diharapkannya. 

"Kamu kapan balik sini?"

"Hmm." Anna menjatuhkan diri ke sofa. "Besok pagi, ya. Capek banget, nih." Disandarkannya kepala di sandaran sofa yang empuk.

"Iya. Nyetir Cibubur-Jakarta pasti capek banget. Istirahat dulu aja."

"Hmm." Anna mengangkat kaki untuk tiduran di sofa.

"Jam berapa nyampe apartemen?"

"Eh, itu..." Ada sedikit rasa bersalah karena tadi mampir dulu untuk bertemu dengan Andre. Tapi cepat-cepat ditepisnya. "Tadi mampir dulu buat makan. Jadi baru nyampe ini." Tetap saja ia merasa tak enak kalau harus jujur.

"Oh..." 

Lalu hening. Anna memejamkan mata. Kepalanya yang tadi terasa ringan, kini kembali terasa berat.

"Aku mau tanya soal tadi."

Mata Anna terbuka lagi. "Soal apa?" Jantungnya menambah kecepatan detak untuk bersiap menerima pertanyaan yang mengejutkan.

"Ciuman tadi, maksudnya apa?"

Anna langsung duduk dalam sekali gerakan. "Cuma goodbye kiss aja, ngga ada maksud apa-apa."

Haikal bisa mendengar getar suara Anna dari speaker ponselnya. "Goodbye kiss? Apa kita memang sudah biasa ciuman sebelum berpisah?"

Anna menggigit bibir. Dia tak bisa menjawab. Haikal terlalu pandai dalam menyudutkan orang dengan pertanyaan. "Sorry, aku yang bertindak tanpa berpikir," akhirnya menyerah.

Terdengar Haikal menarik napas. "Memangnya apa yang kamu rasakan sampai ngga sempat berpikir?"

"Aku udah minta maaf. Tolong jangan ditanya-tanya lagi. Aku capek!" Anna memijit keningnya.

"Maaf," lirih suara Haikal, "kamu tahu, waktuku tinggal beberapa jam lagi. Aku butuh kepastian sebelum hari berganti."

Anna terdiam. Dilihatnya lagi cincin sirih gading yang dilingkarkan Andre di jari manis. Malam ini ia telah menjadi orang yang sangat impulsif. Bertindak nyaris tanpa berpikir. "Kamu tahu, tadi aku ketemu Andre," akhirnya dia memutuskan untuk mengaku.

Haikal menahan napas. Andre, lelaki itu, yang mengangkat istrinya dari deras arus sungai.

"Dan..." Anna menghirup aroma daun sirih gading yang masih menguar kental. "Aku dilamar."

"Ha?" Haikal menegakkan punggungnya seketika. "Apa maksudnya?"

"Maksudnya, Andre ngajak aku nikah." Jantung Anna bertalu keras di dalam dada. Digenggamnya ponsel erat-erat, khawatir akan terlepas karena tangan yang gemetar.

"Kamu selingkuh?"

Anna menautkan alis, tak terima mendapat sebutan seburuk itu. "Aku ngga selingkuh!"

"Kamu masih istriku!" suara Haikal meninggi.

"Aku udah bilang, aku ngga punya ingatan apa pun tentang jadi istrimu! Aku ngga pernah ngerasa jadi istrimu!"

"Oya? Lalu kenapa kamu minta aku melepaskanmu? Memangnya aku pernah mengikatmu? Ikatan apa yang ada antara aku sama kamu? Apanya yang harus aku lepaskan?!" Haikal mengucapkan semua dalam satu embusan napas hingga dadanya terasa sesak.

Anna menelan ludah. Tak bisa menjawab. Pertanyaan ini terasa begitu menusuk. Dia tak bisa mengingkari ada sesuatu yang dirasakan berbeda tiap kali bersama Haikal. Tapi itu tak mungkin cinta. Lebih masuk akal jika itu hanya rasa yang tersisa tanpa terikat memori. "Aku tak tahu," jawabnya lirih. "Aku merasa terikat," akhirnya mengaku, "meski tak tahu mengapa aku merasa begitu."

Jurnal HaikalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang