Wajah Haikal semakin dekat. Hangat napasnya membentur pipi Anna yang dingin. Gadis itu tak dapat lagi menahan debaran jantung. Dipejamkannya mata dengan menahan napas.
"Hanya mereka yang terikat, yang perlu melolong minta dilepaskan," bisikan Haikal mengalun halus di telinga Anna.
Gadis itu spontan membuka mata. Serta-merta, didorongnya Haikal hingga rebah di tangan sofa. Tanpa pikir panjang dilarikannya kaki ke dalam kamar.
Terikat. Mungkin itu kata yang tepat. Entah bagaimana Anna merasa ada sesuatu. Sesuatu yang membuatnya merasa tak nyaman jika banyak berdekatan dengan Andre.
Saat bibir mereka bersentuhan siang tadi, sesuatu naik ke kesadaran. Membuat benaknya bertanya-tanya. Mengapa tak ada debar itu? Debar yang dirasa saat bergenggaman tangan sepanjang jalan. Debar yang muncul saat berciuman. Debar yang bertalu saat ia bersama Haikal.
Tak mungkin. Ini tak mungkin cinta. Ini hanya rasa yang tersisa dari masa lalu. Rasa yang tenggelam dalam amnesia.
Di depan Santa Maria ia bersimpuh. Memohon kekuatan hati menghadapi dunia. Betapa membingungkannya hidup ini. Kepada Bapa di surga, ia memanjatkan pinta. Agar diberikan terang dalam menempuhi jalan kehidupan. Agar tangan-Nya membimbing langkah yang terseok.
Tak tahu berapa lama ia menundukkan kepala di depan Santa Maria. Seseorang duduk bersila di celah pintu kamar yang terbuka. Menunggu.
Anna menyeka airmata yang membanjir di pipi. "Ada apa?" tanyanya.
"Aku mau minta tolong," Haikal menjawab tanpa beranjak. "Kak Sofia lagi di rumahsakit."
"Kak Sofia?"
"Istrinya Bang Randi. Udah di rumahsakit dari tadi sore."
"Bang Randi?"
Haikal nyaris lupa. Gadis yang didepannya tak punya ingatan apa-apa tentang keluarga. "Bang Randi, abangmu. Istrinya mau melahirkan. Katanya, dari maghrib tadi belom maju-maju dari pembukaan lapan."
Anna melirik jam dinding di depan tempat tidur. Sekarang jam sembilan malam. Berarti sudah tiga jam. Tak terlalu masalah sebenarnya. Apalagi anak pertama.
"Dia sepertinya mulai setengah sadar. Dia pengen ketemu Raisa. Ini yang bikin Bang Randi galau. Kak Sofia tak mau diingatkan bahwa Raisa sudah meninggal. Dia keukeuh minta ketemu Raisa. Dulu waktu anak pertama, juga Raisa yang menemaninya melahirkan."
Ternyata anak kedua. Anna menghela napas perlahan. Dia sadar, minta bertemu orang mati terdengar seperti firasat buruk tentang malaikat maut yang mendekat.
"Maukah kamu membantunya?"
Airmata Anna menetes lagi. Tetesannya sampai di lantai. Menjawab iya, sama saja dengan mengakui masa lalu yang ingin dikubur dalam-dalam. Bukan karena buruk. Tapi karena identitas di masa lalu mungkin mengacaukan kehidupannya di masa kini. Menjawab tidak, serasa mengkhianati Santa Anna yang sudah ia sematkan namanya dalam diri. Santa Anna, sang pelindung para ibu.
Haikal menanti jawaban dengan sabar. Raisa tak akan mungkin membiarkan orang lain kesusahan jika ia punya kuasa untuk membantu. Namun, andai yang dikatakan gadis itu benar, bahwa yang dihadapinya sekarang bukan Raisa, maka Haikal akan datang sendiri ke rumahsakit dan melepaskan istrinya detik itu juga.
"Keluarlah, aku ganti baju dulu," jawaban Anna menerbitkan bahagia di hati Haikal. Lelaki itu undur diri dan menunggu.
***
Anna keluar mengenakan atasan putih bermotif bunga-bunga kecil dengan renda tipis menjadi aksen di kerah kotaknya. Celana capri berbahan denim menutup hingga betis. Sambil mengenakan jaket bomber berwarna hijau toska, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Haikal
RomanceIngatan Haikal hanya bertahan selama 24 jam. Setelah itu, ia akan kembali pada hari yang tak ingin diingat selamanya. *** Cerita ini merupakan lanjutan dari Bulan Madu. Silakan membaca kisah Haikal dan Raisa di Bulan Madu untuk mendapatkan pengalama...