Antara Kita

567 59 4
                                    

Bank Mayartha menyediakan masjid yang sangat nyaman bagi karyawannya di bagian atap gedung. Masjid itu dilingkupi kerimbunan taman nan teduh. Pekat polusi udara Jakarta tidak berdaya menghadapi hijau dedaunan di sana. Keteduhan yang ditawarkan di sini tidak hanya memikat para karyawan muslim untuk selalu ingat shalat lima waktu. Karyawan beragama lain pun kerap datang untuk sekadar duduk-duduk melepas penat sembari menikmati makan siang.

Angin dingin dari selatan langsung menampar muka Haikal begitu ia keluar dari elevator. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai pertimbangan silih berganti. Anna sudah terbukti adalah Raisa. Tapi gadis itu masih berusaha menyangkal fakta ini. Identitas baru yang mengisi seluruh jiwa raganya benar-benar bertolak belakang dengan Raisa.

Haikal menyadari itu. Istrinya seorang muslimah taat. Baginya hanya Allah yang terpenting. "Lagipula, aku masih ingat Allah, masih ingat siapa diriku," begitu katanya dulu. 

Tapi sekarang, kamu lupa pada Allah, lupa pada dirimu. Bagaimana, Sayang? 

Tepukan lembut Ustadz Hadi menyadarkan Haikal dari lamunan. Disertai anggukan bersahabat, dia mengikuti sang sahabat beranjak  menuju tempat wudhu. 

Masalah ini benar-benar memusingkan. Apalagi Haikal hanya punya sisa hari ini untuk menyelesaikan semua. Kepalanya terasa hampir meledak digunakan untuk berpikir. Mana yang lebih baik, mempertahankan Raisa atau melepaskan istrinya begitu saja. Toh dia sudah bahagia dengan hidup sebagai Anna. Bukankah itu cukup?

Sejuk air keran mengguyur kaki Haikal. Iqamah dikumandangkan dengan syahdu. Ini saatnya melepaskan semua urusan dunia dan bersegera menghadap pada-Nya.

Selesai shalat, Haikal sengaja menunggu Ustadz Hadi di pelataran tempat memakai sepatu. Ia ingin menanyakan bagaimana status hubungan pernikahan jika salah seorang pasangan murtad. 

Setelah diam beberapa saat, Ustadz Hadi menjawab hati-hati, "Ada beberapa pendapat. Ada yang menyatakan bahwa ikatan pernikahan menjadi batal. Ada juga yang mengatakan tidak batal."

"Yang mana yang lebih mendekati kebenaran, Ustadz?"

Ustadz Hadi mengelus jenggotnya. "Pada masa Rasulullah juga banyak yang murtad. Mereka berpisah, namun ketika suami atau istri kembali lagi pada Islam, Rasulullah tidak menyuruh melakukan akad nikah ulang. Berarti pernikahan mereka tidak batal, hanya berpisah saja."

Haikal mengangguk. "Hanya berpisah, ya? Tapi ini seperti menggantung hubungan. Apakah itu baik?"

"Yah," Ustadz Hadi mengambil kaos kaki dan mulai mengenakannya, "menurut saya, lebih baik dijelaskan saja. Bercerai atau tidak. Rasanya ini lebih memuliakan kedua belah pihak."

Haikal menelan ludah. Dia tak ingin berpisah dengan istri yang baru ditemukan. Tapi mungkin ini akan jadi jalan terbaik. Lagipula, hubungan suami-istri adalah hubungan timbal balik. Jika hanya satu orang yang merasa memiliki ikatan, apa masih bisa disebut sebagai pernikahan?

***

Setelah berganti pakaian, Haikal kembali ke ruang meeting. Di sana ia menemukan Anna sedang melipat tangan di atas meja, tertidur.

Senyum mengembang di bibir lelaki itu. Hari ini memang sangat melelahkan, sudah tentu Putri Tidur akan terlelap.

Perlahan, nyaris tanpa suara, Haikal berjalan menuju tempat duduknya tadi. Seperti biasa, Anna tertidur dengan bibir sedikit terbuka. Terlihat sangat seksi sebenarnya, andai saja tak ada segalur air samar mengular dari celah dua bibir.

Haikal tak dapat menahan senyum. Betapa ia merindukan pemandangan seperti ini. Diputuskannya menikmati apa yang tersaji tanpa melakukan apa pun. Dia tak ingin tidur. Tak ingin memejamkan mata. Khawatir, saat bangun nanti, segalanya akan lenyap dari ingatan.

Jurnal HaikalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang