Batas Khayalan

497 50 22
                                    

Jus buah naga buatan Anna terasa lain dari yang lain. Rasa manisnya tidak membuat ketagihan minum. Hanya cukup untuk membuat perut terasa berisi.

Langit Cibubur cerah sekali Sabtu pagi ini. Dari atas balkon Haikal mengamati orang-orang memanfaatkan kolam renang selagi matahari belum terik. Ditenggaknya tetes terakhir jus buah sebelum kembali masuk ke apartemen.

Sebuah pesan masuk menyalakan nada dering di ponsel. Dari Ustadz Hadi, mengabarkan bahwa Maryam meminta penundaan pertemuan karena walinya mengalami kecelakaan kemarin. 

"Thoyyib, Ustadz," balasnya. Tentu ia sudah tahu siapa yang dimaksud wali oleh Maryam. Pastilah Amran yang sekarang sedang terbaring di Mitra Harapan.

Berdasarkan to-do-list yang sudah dibuat kemarin, ada sesuatu yang perlu ia bicarakan dengan Amran hari ini. Poin-poin pembicaraan serta latar belakang mengapa harus membicarakan hal tersebut pun sudah disusun rapi dalam notes terpisah.

Tapi kejadian tak terencana menjelang subuh tadi telah membuat kepala Haikal dipenuhi bayangan Anna. Tiap kali memejamkan mata, otaknya seolah otomatis melakukan rewind aksi panas mereka di ruang cuci.

Ini keterlaluan. Haikal menghempaskan badan ke sofa. Memijat kepala dengan remasan ujung jari tak dapat membuat bayangan itu pergi. 

Di meja tergeletak buku gambar ukuran A3 lengkap dengan krayon yang belum dirapikan. Buku itu menampilkan satu lembar gambar setengah jadi. Di situ terlihat seorang anak lelaki menunjuk anak lelaki lain yang lebih kecil. Di latar belakang terdapat gambar yang masih berupa garis-garis sketsa saling silang.

Haikal tersenyum melihatnya. Dia tak tahu kalau mereka memiliki kesukaan yang sama. Andai dulu dia punya waktu yang cukup untuk mengenal Raisa, mungkin mereka sudah menghabiskan berhari-hari sketching bersama.

Diraihnya buku gambar lebar tersebut. Memperhatikan halaman-halaman lain, ia teringat pada ilustrasi di buku-buku cerita. Tampaknya Anna sedang menyiapkan semua ini untuk mendukungnya dalam bercerita.

Seketika kenangan lama terbuka kembali. Ketika ia pertama kali bertemu Raisa di tepi kolam renang. Gadis itu tampak bagaikan peri yang sedang berkisah dengan indah untuk anak-anak.

Yah, meski namanya berubah, dia tetaplah Raisa.

Tiba-tiba sebuah ide terbit di benaknya. Mulutnya menyeringai tengil memikirkan kelebat gagasan yang menyeruak. Jika bayangan kejadian tadi terus saja terputar ulang di otak, kenapa tak sekalian saja dikeluarkan di kertas gambar?

Diraihnya krayon untuk mulai menggambar. Apa kata Anna ketika melihat gambarnya nanti? Haikal tak peduli. Dia memerlukan ini sebagai terapi.

***

Menjelang tengah hari ia tiba di kamar Amran. Lelaki itu menyambutnya dengan senyum yang dipaksakan. 

"Assalamu'alaikum, gimana kakinya?"

Kaki Amran masih dibebat dengan gips. Tulangnya dipasangi pin agar dapat melekat sempurna. Agak sulit dia berusaha duduk demi menghormati Haikal yang membezuk. "Yah, udah bisa pulang, alhamdulillah. Kak Maryam sedang mengurus administrasinya. Katanya bisa ditanggung BPJS."

"Alhamdulillah." Haikal mengambil bangku untuk duduk di samping tempat tidur Amran.

"Bang Haikal yang ngirim CV untuk Kak Maryam, kan?"

"Yah," Haikal tertawa kecil, "gimana menurutmu?" tanyanya santai.

"Tolak aja, Bang."

Haikal terkejut. Dia punya pemikiran yang sama persis dengan yanga da di kepala Amran.

Jurnal HaikalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang