Anna berjalan tergesa sepanjang koridor. Dia memijit-mijit muka untuk mengalirkan lebih banyak darah ke wajah. Kepala masih terasa berat akibat kelelahan menunggui Sofia melahirkan semalam. Leher dan pundak pun pegal karena posisi tidur yang tidak sempurna di kursi tunggu. Tapi ia harus mengabaikan itu semua. Haikal sedang membutuhkan pertolongan di pelataran masjid.
Randi memberitahu bahwa Haikal kebingungan mencari sandalnya. Ia sama sekali tak ingat alas kaki apa yang digunakan semalam. Anna menghela napas, mempersiapkan diri untuk menghadapi seorang lelaki yang baru saja sampai dari masa tiga tahun yang lalu.
"Haikal?" Anna menyodorkan sepatu pada Haikal yang sedang duduk bersandar di tiang masjid. Matanya terpejam, tangannya terlipat di dada. Jaket dan tas Anna tergeletak di pangkuan, bersama-sama dengan ponsel yang terhubung pada powerbank.
Haikal membuka mata dan balik memanggil untuk meyakinkan, "Raisa? Kamu ngga pake jilbab?" Randi sudah bercerita bahwa ada masa tiga tahun yang sudah ia lewati. Bahwa Raisa sudah mati lalu hidup lagi. Namun ia tak menyangka, perubahannya bisa sampai sebesar ini.
Mata Anna membulat kaget. Hanya sesaat, kemudian dia maklum. "Pake dulu aja sepatunya, kita pamit sama Kak Sofia, trus pulang."
Haikal menurut. Dia sama sekali tak mengira akan datang ke sini dengan sepatu formal begini. "Kamu tahu apa yang terjadi kemarin?"
"Banyak," jawab Anna singkat.
"Apa aja? Aku sama sekali ngga ingat apa-apa." Haikal bertanya lagi sambil mengenakan kaus kaki.
"Haikal," lirih suara Anna nyaris tak terdengar, "namaku Anna."
Dua kata terakhir menusuk Haikal sampai ke jantung. "Anna?"
Kemudian mengalirlah cerita Anna tentang bagaimana ia diselamatkan dari sungai berarus deras. Berlanjut hingga dibaptis dan menerima sakramen krisma. Kemudian bertemu lagi dengan Haikal hingga tinggal di apartemen.
Lagi-lagi Haikal hanya bisa beristighfar. "Jadi kamu Katolik sekarang?"
Anna mengangguk.
"Ya Allah!" Teringat malam pertama mereka yang dihabiskan di atas sajadah. Haikal benar-benar tak rela separuh agamanya berseberangan jalan seperti ini. "Jadi gimana hubungan kita sekarang?"
"Yah, gitu."
"Gimana?"
Cahaya matahari pagi mulai menghangatkan bumi. Tetes-tetes embun sedikit demi sedikit mengering dari dedaunan. Anna melepas pandang ke awan putih yang bergumpal-gumpal di langit biru. "Hubungan kita," katanya mencari diksi terbaik untuk mendefinisikan yang tak terdefinisi, "entahlah."
"Entahlah?"
Dihirupnya udara segar pagi hari yang masih minim polusi. Bagi Anna hubungan mereka sangat tidak jelas. Itu sebabnya ia minta agar diceraikan saja. Dengan begitu semua akan terlihat terang benderang. Dia akan dengan mantap berkata bahwa mereka kini tak punya hubungan apa pun.
Tapi perkataan Haikal semalam membuatnya berpikir ulang. Memang benar, seharusnya dia tak perlu repot-repot minta diceraikan. Secara legal formal, toh mereka memang tak punya hubungan apa-apa. Meski demikian, yang disebut hubungan sebenarnya bukanlah tulisan yang tertera di selembar kertas. Hubungan adalah apa yang dirasakan di dalam diri. Ikatan yang dibuat oleh hati, bukan tulisan yang dibubuhi tanda tangan di atas materai. Ikatan yang entah bagaimana dirasakannya begitu kuat dengan lelaki ini.
Anna sekali lagi menarik udara memenuhi paru-paru. Berusaha mengumpulkan kekuatan untuk meneguhkan hati. "Haikal," ujarnya pelan, "seharusnya ngga ada hubungan apa-apa di antara kita. Tapi ngga tahu kenapa, sejak pertama kali ketemu sama kamu, aku ngerasa ada yang beda. Tadinya kukira, mungkin pengaruh hormon, atau mungkin karena kamu emang ganteng."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Haikal
RomanceIngatan Haikal hanya bertahan selama 24 jam. Setelah itu, ia akan kembali pada hari yang tak ingin diingat selamanya. *** Cerita ini merupakan lanjutan dari Bulan Madu. Silakan membaca kisah Haikal dan Raisa di Bulan Madu untuk mendapatkan pengalama...