Ta'aruf

547 59 5
                                    

Ustadz Hadi menghela napas. Dia tak menyangka gosip itu benar. Mereka berdua terlihat sangat dekat.

"Silakan duduk, Ustadz," Haikal berdiri menyambut sahabatnya. Hadi adalah salah seorang staf di divisi Humas, khusus menangani CSR. Terbiasa bergelut dengan berbagai macam proposal CSR, beliau pun didapuk menjadi orang penting untuk bertugas mematangkan konsep divisi syariah yang digagas kelompok kajian karyawan Mayartha.

Setelah berbasa-basi sekadarnya, Ustadz Hadi langsung ke pokok permasalahan dengan menyerahkan amplop coklat seukuran folio ke hadapan Haikal. "Ini CV akhwat yang kemarin ana ceritakan."

Alis Haikal terangkat. Di jurnal sama sekali tak ada petunjuk mengenai rencana ta'aruf ini. "Ana rasa, ana belum siap, Ustadz."

Tentu saja Hadi tak bisa percaya begitu saja. Apalagi adegan yang baru saja dilihatnya sama sekali tidak mencerminkan kata-kata Haikal barusan. "Coba dipelajari dulu aja. Kalo ngga cocok, masih ada stok yang lain, kok," kalimat ini diakhiri dengan gelak kecil selayaknya sebuah candaan.

"Baik, Ustadz. Ana pelajari dulu," akhirnya menyerah, menerima amplop tersebut dan mulai membuka segelnya yang berupa benang melingkar.

"Dia ini temen istri ana, sesama CS juga. Dia sudah ingin menikah untuk menghindari fitnah."

Di kepala Haikal langsung terbentuk profil seorang customer service. Sudah pasti memiliki penampilan menarik adalah salah satu kriterianya. Murah senyum sudah sewajarnya. Dia mungkin kesulitan menundukkan pandangan terhadap lawan jenis hingga merasa bahwa menikah sudah berubah hukumnya menjadi wajib. 

"Dia berencana resign setelah menikah dan fokus hanya mengurus keluarga. Karenanya sekarang butuh ikhwan yang mapan yang juga siap menikah."

Hmm, materi jadi salah satu pertimbangan penting, Haikal menyimpulkan. Ditariknya beberapa lembar kertas dari dalam amplop. Sebagaimana para penyeleksi karyawan, yang pertama kali dicari adalah foto diri.

"Dia sengaja ngga mau ngasih foto dulu," Hadi menjelaskan, paham apa yang dicari Haikal. "Dia ngga mau orang menilainya dari penampilan. Dia mau, sebelum menilai penampilan, orang-orang akan menilai kualitas dirinya dulu."

Haikal tersenyum malu. Ustadz Hadi bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya. Namun seorang customer service tak mungkin punya penampilan merusak pemandangan.

Lembar pertama, sebuah essay tentang pernikahan. Baginya pernikahan adalah penyatuan dua misi penciptaan menjadi satu misi peradaban yang nanti akan diwujudkan melalui pendidikan anak-anak. Haikal sampai menahan napas membacanya. Dia dulu belum sempat membicarakan hal-hal seperti ini dengan Raisa. Istrinya telah dipanggil lebih dulu. Kesedihan kembali melingkupi.

"Saya tinggal dulu, ya," suara Ustadz Hadi membuyarkan konsentrasi Haikal. "Nanti kabari aja gimana kelanjutannya," katanya lagi mengulurkan tangan untuk berpamitan. Dia sungguh yakin, calon yang satu ini benar-benar tak bisa ditolak.

Haikal memasukkan lembaran-lembaran kertas itu kembali ke dalam amplop. Ada hal yang lebih menyita pikirannya saat ini. Sebuah lubang besar harus segera ditambal. Lubang itu bernama KEMARIN.

Sayangnya kunci jawaban untuk menambal lubang itu sedang pergi ke Diamond Tower. Katanya menyelesaikan urusan administrasi pembelian apartemen. 

Apartemen, salah satu lubang yang perlu ditambal. Haikal tak mengerti mengapa harus menghabiskan aset untuk membeli sesuatu yang tidak dibutuhkan. Dia telah menyisihkan sebagian gaji untuk menyiapkan dana kebutuhan setelah berkeluarga nanti. Rencananya akan digunakan untuk membeli rumah, pendidikan anak, atau hal-hal lain yang membutuhkan dana besar seketika. Lalu dalam semalam, dana tersebut telah terkuras lebih dari 90% hanya untuk sebuah apartemen yang tidak dibutuhkannya. 

Jurnal HaikalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang