Malam itu, Anna mengambil waktu untuk kembali ke apartemen. "Kamu mau dibawain apa lagi?" tanyanya sambil mengenakan jaket. Jaket model bomber berwarna hijau yang mengingatkan Haikal pada rekaman jurnal dua hari lalu. Katanya, malam itu Andre juga mengenakan jaket yang sama.
"Hello!" Anna melambaikan tangan di depan muka Haikal.
Haikal tersadar dari lamunan, cepat-cepat menggeleng. "Ngga ada," katanya, "cukup laptop aja."
"Okay. Aku pulang dulu. Kalo ada apa-apa, telepon aku, ya?"
Pintu terbuka begitu Anna selesai mengenakan jaket. Hadi masuk diikuti istrinya dan seorang perempuan. "Assalamu'alaikum," katanya.
"Wa'alaikumsalam, Ustadz. Kok tahu ana di sini?" jawab Haikal terkejut.
"Tadi ketemu Bu Maya, katanya Antum sakit."
"Oh, ya. Masuk angin kayanya," jawab Haikal berbasa-basi. "Eh, kenalin," katanya pada Raisa, "ini Ustadz Hadi, istrinya, Bu Shakina, salah satu CS senior di Mayartha, sama...?"
"Maryam," Hadi memotong untuk melengkapi.
"Hai, saya Anna." Anna mengulurkan tangan yang disambut Shakina dan Maryam dengan senyum formal.
Haikal masih tertegun mendengar nama Maryam. Dia berusaha mengingat-ingat apa yang dikatakan jurnal tentang nama ini. "Maryam Abdurrahman?" tanyanya memastikan.
Maryam tersenyum, mengangguk malu-malu.
"Oh, ya. Saya ingat. Afwan, akhirnya kita malah ketemuan kaya gini." Haikal melirik Raisa canggung. Dua hari lalu ia sudah mengirim CV untuk gadis itu melalui Ustadz Hadi. Sesuatu yang harusnya tidak dilakukan. Apa boleh buat, ketika itu ia belum menemukan cincin di kamar Anna.
Suasana tiba-tiba terasa sangat canggung. Maryam dan Shakina saling lirik tanpa kata. Hadi menatap Anna dengan pandangan yang siap menendangnya seketika.
Anna jengah. Ia merasa diserang tiga orang tanpa benar-benar paham sebabnya.
"Ah, silakan duduk, Pak, Bu." Anna berusaha mematahkan kekakuan dengan menyodorkan bangku. "Saya permisi, mau pulang dulu," lalu beralih pada Haikal, "udah, cuma laptop aja?" Tangannya memasukkan ponsel dan kunci mobil ke dalam tas. "Baju kotormu aku bawa pulang, ya," katanya mengambil bungkusan di laci nakas.
Haikal berdeham mengangguk. Memandang Raisa sembari menebak-nebak, apakah dia tahu soal ta'aruf ini. Kenapa sikapnya terasa berubah? Setetes rasa bersalah tiba-tiba saja jatuh dalam hati.
"Aku pergi." Anna mengulurkan tangan pada Haikal untuk bersalaman. Dengan sedikit menunduk ia mengecup bibir lelaki itu sekilas. Kemudian berlalu tanpa mempedulikan aura keterkejutan yang tiba-tiba memenuhi ruangan.
Haikal terpaku. Mata Hadi membulat. Adegan yang baru saja dilihatnya sama sekali tidak terantisipasi. Maryam mengernyit, beradu tatap dengan Shakina.
Tak ada seorang pun yang berbicara hingga akhirnya terdengar suara Haikal berusaha mengatasi keadaan. "Ehm afwan, ana lupa memperkenalkannya dengan lengkap. Kenalkan, istri ana, Raisa."
Hadi kini ternganga. "Raisa? Antum udah nikah?"
Haikal memijit keningnya. Fakta sederhana ini akan sangat rumit jika dijelaskan. Dia masih tak habis pikir, mengapa tiba-tiba Raisa melakukan itu. Bukannya menolak, kalau boleh malah ingin meminta lebih. Tapi, bukankah tadi pagi dia yang minta dilepaskan? Lalu tiba-tiba mencium bibir sewenang-wenang, sikap macam apa ini?
"Ceritanya agak panjang, Ustadz," akhirnya Haikal memutuskan untuk memberitahukan semuanya. Itu berarti sekaligus meminta pembatalan proses ta'aruf.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Haikal
RomansaIngatan Haikal hanya bertahan selama 24 jam. Setelah itu, ia akan kembali pada hari yang tak ingin diingat selamanya. *** Cerita ini merupakan lanjutan dari Bulan Madu. Silakan membaca kisah Haikal dan Raisa di Bulan Madu untuk mendapatkan pengalama...