Berbeda

445 49 11
                                    

Andre tak terbiasa membiarkan satu masalah berlarut-larut. Apalagi ini menyangkut masa depan kehidupannya. 

Penjelasan Anna sangat tidak masuk akal. Dia bisa memahami bahwa gadis itu mengalami amnesia. Tapi bagaimana mungkin dia tak dapat membedakan antara khayalan dan kenyataan. Amnesia jelas bukan skizofrenia.

Sementara di sisi lain, dia menghormati Haikal sebagai seorang yang bermartabat. Sulit bagi Andre memahaminya menggoda calon istri orang secara terang-terangan begitu. Meski ia mengetahui bagaimana hubungan mereka sebelum amnesia mendera, tetap saja apa yang dilakukannya itu benar-benar kurang ajar.

Siang itu juga ia minta bertemu dengan Haikal. Lelaki itu mengatakan bahwa ia sedang berada di rumah temannya, di Cibubur. Tempat pertemuan akhirnya disepakati di sebuah warung roti bakar, tak jauh dari stasiun Pondok Cina. 

Andre telah lebih dulu menanti dengan ice coffee di Sabtu menjelang sore yang terik itu. Haikal sendiri tiba hampir tigapuluh menit sesudahnya akibat terjebak macet parah di ruas Jalan Margonda.

"Sorry, telat," Haikal menyapa dengan permintaan maaf.

Andre memaksakan sebuah senyum sembari berkata, "Ngga pa-pa. Depok di weekend emang jagonya macet." 

Haikal tertawa, tak bisa membantah. Kemacetan yang dialaminya memang hampir bisa dibilang tanpa pergerakan. "Ngga buru-buru, kan? Saya shalat ashar dulu sebentar."

"Oke," Andre tak punya pilihan selain mempersilakan. 

Warung roti bakar ini menyediakan musholla yang cukup apik di ujung lantai dua-nya. Sebuah ruangan seluas kamar kos yang cukup untuk digunakan sholat sekitar duapuluh orang.

Andre menunggu sambil mengamati mobil-mobil yang beringsut dengan sabar di depan warung. Posisinya berada di lantai dua hingga angin sepoi-sepoi lebih leluasa berembus. Ia bisa membayangkan betapa panas berada di tepi jalan raya saat ini. Meski matahari mulai bergerak turun menuju horizon di barat, namun seorang pejalan kaki yang mengusap keringat di leher cukup memberi tanda bahwa di bawah sana suhu sungguh menyesakkan.

Haikal kembali ke meja mereka ketika jus buah naga telah menanti untuk dicicip. Ini bukan buah kesukaannya. Hanya saja, ia ingin menikmati lagi buah yang tadi pagi terasa sangat nikmat menyapa lidah.

"Apa kita bisa mulai sekarang?" Andre langsung memulai pembicaraan tanpa basa-basi.

"Silakan," kata Haikal santai mencomot singkong rebus dengan topping keju laksana salju.

"Bisa tolong jelaskan soal ini?" kata Andre, melayangkan dua lembar kertas terlipat ke hadapan Haikal.

Hanya dengan melihat tekstur kertas itu, ia dapat menebak apa isinya. Seringai kemenangan muncul di garis bibir. "Kenapa?"

"Kenapa?" Tangan Andre mengepal kuat. "Anda yang menggambarnya, bukan?"

Haikal tertawa mengejek. "Kalau iya, kenapa?"

Saat ini juga Andre ingin membungkam mulut yang meledek itu. Giginya gemeretak menahan geram. "Apa maksud Anda menggambar ini?"

"Hmm," Haikal meneguk jus buah naganya, "saya ngga sempat memotret kejadian tadi pagi. Jadi saya ingin merekamnya dengan gambar."

Brak! Andre menyalurkan kemarahan dalam satu tinjuan pada meja. Gelas dan piring di atasnya terlonjak satu senti dari permukaan. Berdiri, dengan cepat tangannya meraih kerah baju Haikal. "Saya peringatkan Anda. Jauhi calon istri saya, sekarang!"

Haikal tertawa penuh ejekan. "Bilang sama calon istri Anda. Kalo ada laki-laki yang menciumnya, berteriaklah keras-keras atau lawan. Jangan malah membalas dengan penuh gairah."

Buk! Satu tinjuan mendarat di mulut Haikal. Lelaki itu terjengkang ke lantai. Rasa asin terbit di mulutnya.

Andre berlalu dengan langkah menghentak. Suara kakinya menginjak anak tangga terdengar menggelegar mengerikan. Orang-orang di sekeliling melihat Haikal dengan tatapan bingung sekaligus kasihan.

Haikal duduk, mengusap darah yang meleleh dari bibir dan tertawa. Menertawakan diri sendiri. Menertawakan nasib yang sungguh aneh.

Dia bisa memahami kemarahan Andre. Sangat bisa malah. Hal yang sama mungkin akan ia lakukan juga jika berada di posisi lelaki itu.

Setelah pening di kepalanya hilang, Haikal beranjak menuju washtafel. Meludahkan darah di mulut dan membersihkan muka. Beberapa orang masih memperhatikan dan berbisik-bisik. Dia tak peduli. Mereka toh tak tahu apa yang dialaminya. 

Dilihatnya lagi dua lembar kertas yang  dilempar Andre tadi. Gambar yang tergores tak bisa menjelaskan seluruh perasaannya namun cukup kuat untuk membuat kenangan subuh ini berkelebat lagi. 

Digulungnya dua lembar kertas itu menjadi satu. Pulang. Hanya itu yang terpikir sekarang.

***

Haikal langsung merebahkan diri di kasur begitu tiba di rumah. Aktivitas hari ini penuh emosi. Mulai dari bangun tidur hingga menjelang malam ini. Masa-masa seperti ini membuatnya merasa ingin cepat-cepat pagi. Semua kekesalan, kemarahan, dan kegeraman akan segera hilang begitu hari berganti. Besok dia akan melihat semua hanya sebagai masa lalu yang telah dilupakan.

Dibukanya aplikasi messenger yang tak tersentuh sejak di warung roti bakar. Sebuah pesan dari Anna menarik perhatiannya.

"Ngga nyangka ingatanmu detil sekali," tulisnya d bawah gambar sketsa sepatu yang masih tertinggal di apartemen.

"Raisa yang ngajarin buat mengingat dengan seluruh indera."

Tak ada jawaban.

"Tapi percuma kalo yang bermasalah syaraf kita."

Adegan kekerasan di warung roti bakar tadi terulang di benak. Bibirnya makin terasa perih. Meski tak ada rasa bersalah, tetap saja sesudut hatinya berkata bahwa ia layak mendapatkan ini.

"Gambarku bikin masalah buat kalian, ya?" Dia mengirimkan satu pesan lagi.

Sudah dibaca tapi tak ada jawaban.

"Aku mau minta maaf," tulisnya demi kesopanan. 

Masih tak ada balasan, meski sudah dibaca. Lama-lama, Haikal jadi tak enak hati. Ditekannya simbol telepon.

Anna menerima panggilannya setelah dua kali dering. "Halo," katanya.

"Sorry," hanya satu kata itu yang berhasil diucapkan Haikal.

"It takes two to tango," Anna menjawab datar, "ngga akan bunyi kalo cuma bertepuk sebelah tangan."

Haikal mendengkus. "Yeah!"

Terdengar embusan napas Anna lembut. "Mungkin lebih baik kejadiannya sekarang daripada sesudah pemberkatan."

Haikal tertawa. "Kejadian apa? Ciumannya atau bermasalah sama Andre?"

Anna tertawa kecil. "Dua-duanya," dia berujar datar.

Haikal terdiam. Perasaannya tidak keruan. "Kalian putus?"

"Gitulah," terdengar Anna mengembus napas, "tapi ga tahu kenapa malah lega rasanya." Dia tertawa samar. "Mungkin selama ini aku udah salah mengira."

Haikal menyimak. Dalam hati ia bersorak. Tapi untuk apa, toh mereka sudah berpisah.

"Untuk memutuskan menikah, ternyata ngga cukup hanya pakai logika."

Ujung lidah Haikal menyentuh bagian dalam bibir yang robek. Rasa perih menjalar hingga ke ubun-ubun. "Tapi perasaan saja juga ngga cukup buat bertahan," sahutnya lirih.

Tak ada suara lagi. Hingga adzan maghrib terdengar dari masjid di simpang jalan. Ini masa untuk menghentikan pembicaraan. 

Andai yang diajak bicara adalah Raisa, Haikal pasti akan mengajaknya shalat bersama. Meski terpisah jarak sejauh apa pun, mereka tetap akan berdiri menghadap arah yang sama.

 Tapi dengan Anna, itu semua tak mungkin. Arah yang mereka tuju berbeda dan Haikal mati-matian mengingatkan diri tentang hal itu. 

Berbeda, Haikal! Berbeda!

Jurnal HaikalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang