Memiliki anak atau buah hati adalah anugerah terindah bagi pasangan suami istri, yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, dan menjadi pelengkap dalam sebuah pernikahan hingga bisa disebut sebagai "keluarga utuh", sekaligus bisa mempermanis dan mempererat hubungan suami istri.
Namun, tidak semua pasangan suami istri di dunia ini bisa mudah dan cepat memiliki anak kandung, bahkan hingga bertahun-tahun lamanya.
Hal ini tentu menjadi kegundahan tersendiri bagi pasangan yang mengalaminya.
Kerinduan dan penantian panjang akan hadirnya buah hati di tengah-tengah hubungan pernikahan, bercampur harap-harap cemas apakah akan memiliki anak atau tidak menjadi masalah klasik bagi pasutri yang belum jua memiliki anak.
Apalagi bila faktor usia terus bertambah, sedangkan tanda-tanda hadirnya anak tak juga datang, semakin membuat pikiran dan perasaan pasutri tersebut semakin tak menentu.
Dan jika hal itu terus berlangsung hingga bertahun-tahun lamanya, bisa dibayangkan beratnya beban yang harus dipikul oleh mereka.
Beban itu akan semakin berat ketika sang pasutri tersebut dihadapkan pada kehidupan bermasyarakat, dan stigma yang melekat dari masyarakat terhadap pasangan yang sudah lama menikah namun tak juga dikaruniai anak.
Berbagai pertanyaan klise seperti "Kapan punya anak?" atau "Masih betah berduaan ya?", sampai "Kenapa belum punya anak juga?" harus ratusan mungkin ribuan kali mereka dengar.
Bahkan sekelas publik figur Tanah Air yang telah menikah dan cukup lama tak memiliki anak pun harus kewalahan menerima kenyataan terus "diberondong" pertanyaan seputar belum memiliki anak, yang mungkin sudah sangat bosan mereka dengar, sekaligus bosan juga meresponnya.
Belum lagi opini publik bahkan vonis kejam pun harus diterima oleh mereka, yang bukan hanya sok tahu, namun juga menjurus kasar dan tak sopan. Mulai dari anggapan "mandul", sering berbuat "nakal" ketika belum menikah, sampai terlalu "banyak dosa" (yang bahkan di antaranya pernah saya dengar dari ceramah seorang ustaz terkenal Indonesia di radio. Namun saya tidak ingin berpolemik membahas masalah tersebut).
Belum lagi kalimat yang paling umum kita dengar kepada pasutri tersebut, yang seperti halus dan sederhana, namun justru "memvonis" dan salah kaprah: "BELUM DIPERCAYA".
Kalimat singkat tersebut seolah menjadi kalimat favorit atau malah kalimat umum yang lumrah dikatakan kepada pasutri yang belum memiliki anak kandung.
Kalimat yang sangat mudah diucapkan kepada pasutri tersebut, semudah membalikan telapak tangan.
Namun tahukah anda bagaimana perasaan pasutri yang anda katakan begitu? Tentu sakit, sedih, sekaligus tersinggung, meski respons mereka terlihat biasa saja, atau hanya menanggapinya dengan tersenyum kecil.
Entah kapan dan siapa orang yang pertama kali menyebutkan kalimat itu kepada pasutri yang belum memiliki anak kandung. Namun di sini saya ingin mencoba menggugat kalimat "belum dipercaya" pada konteks tersebut.
Yang pertama, jika alasannya karena belum dipercaya dalam arti "akhlak" atau moralitas, lalu kenapa banyak pasangan di luar nikah, terutama masih muda-mudi, yang memiliki anak dari hasil hubungan perzinaan mereka, yang bahkan menyebabkan kasus pembuangan bayi hingga aborsi? Apakah mereka "dipercaya" Tuhan untuk memiliki anak?
Yang kedua, jika belum dipercaya karena alasan ekonomi, lalu kenapa banyak pasutri yang kondisi ekonominya morat-marit, tinggal di rumah kumuh, penghasilan tak karuan, namun memiliki banyak anak yang bahkan masih balita dan mereka tampak tak terurus? Apakah mereka juga dipercaya oleh Tuhan untuk memiliki anak, bahkan hingga banyak?
Ketiga, bila alasan belum dipercaya adalah karena faktor pendidikan, berapa banyak pasutri yang tidak sekolah tinggi, pengetahuan dan wawasannya jangan ditanya, namun mereka juga memiliki anak, meskipun terlihat cara mengurus dan mendidik anak seperti asal-asalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CURHAT Pasutri
Non-FictionMembaca Ini Akan Membuka Cakarawala Pengetahuan Tentang Kehidupan Dari Segala sisi Cinta,Pernikahan,Anak,Rumah Tangga Jangan Lupa Vote :)