Kecanduan Pornografi

215 29 5
                                    

Part 1

Oleh : Nurwati

Entah, dengan cara apa dapat kusimpan rasa malu. Tak ada tempat untuk berlari atau bersembunyi dari sebuah kenyataan. Bagaimana tidak! Putra tunggalku, Jordan, yang saat ini berusia lima belas tahun, ternyata harus dirumahkan karena satu alasan, kecanduan pornografi tingkat akut.

Napasku begitu memburu, menahan sesak di dada sungguh tak mengenakan. Mendengar penjelasan dari wali kelas dan guru bimbingan konseling di sekolah.

Tanpa terasa air mataku mengalir, tak sanggup rasanya menegakan kepala hanya untuk sekedar melihat wajah-wajah itu.

'Duh, Jordan. Mengapa semua ini terjadi? Apakah aku adalah ibu yang gagal?' batinku.

Kasus Jordan memang menjadi aib tak hanya untuk orang tuanya. Namun juga sekolah.

Jordan yang dikenal sopan, tak bermasalah dalam kegiatan di sekolah, cenderung jadi panutan dalam prestasi akademik yang diraih, ternyata menjadi penggerak untuk grup pornografi. Ia menjadi admin dan mengkoordinasikan grup WA khusus membincangkan bahasan asusila.

Mereka saling berbagi foto dan video porno, broadcast cerita seks, dan yang paling membuatku shock dan hampir terkulai lemas, saat Jordan bercerita tentang tutorial melakukan kegiatan masturbasi yang ia tutorkan melalui pesan pribadi kepada teman perempuannya. Itulah awal kisahnya terungkap. Salah satu orang tua dari murid itu, memergoki putrinya tengah membalas chat Jordan.

"Innalilahi," ucapku lirih, tak membayangkan jika hal itu bisa terjadi.

Semua sudah terlanjur, nasi telah menjadi bubur. Segala sesal mungkin yang kini bersarang dan kuharap tak meradang. Jordan membutuhkan sebuah terapi untuk kesembuhannya.

Biarlah karirku sebagai seorang psikolog sekaligus konselor bagi anak-anak remaja yang kecanduan pornografi terancam. Bahkan mungkin, orang tak ingin lagi membaca buku yang telah menjadi best seller dengan tema pendidikan seks remaja. Belum lagi, jika pihak majalah yang biasa memuat tulisanku dalam rubrik khusus seputar remaja dan permasalahannya, memutus kontrakku.

Ah, sudahlah .... Jordan lebih penting dari semua itu.

Pikiranku menerobos masa lalu, mencari jawaban atas kesalahan apa yang kulakukan. Apakah yang salah denganku? Bukankah aku sudah cukup baik menjadi seorang ibu? Telah kuluangkan waktu meskipun sepekan untuk berbicara dengan Jordan. Meskipun sering ke luar kota, bahkan luar negeri untuk mengisi acara dan mengkampanyekan untuk pendidikan seks sejak dini, berharap para remaja tak terjebak dalam pergaulan bebas remaja, aku tetap menyempatkan diri untuk berbincang melalui ponsel.

Bukan hanya itu, kuberikan Jordan berbagai bacaan dan tontonan yang mengedukasi agar dirinya memahami bahayanya pornografi. Lalu, mengapa ini bisa terjadi?

Beribu pertanyaan terus memburu. Ataukah mungkin ada orang lain yang mempengaruhi? Lalu siapa?

Bukankah selama ini, pergaulan Jordan sudah kuproteksi dengan baik? Kupilihkan tempat tinggal di perumahan yang eksklusif, jauh dari pergaulan anak-anak muda yang sering berulah. Memilihkan sebuah sekolah yang terkenal dengan pendidikan berkarakter. Setiap hari ada sopir yang menjemput.

Semakin otakku berpikir keras mencari jawaban, tetap, tak dapat kutemukan juga celah. Dari mana Jordan mendapatkan semua ini?
Ingin rasanya segera memeluk anak itu, memberikan kekuatan dan keyakinan untuk berubah.

"Ibu Niken, sekali lagi kami mohon maaf, dengan terpaksa kami harus merumahkan anak Ibu," ucap wali kelas Jordan dengan nada yang tegas.

Kuterima, walau sangat sakit. Bagaimanapun itu adalah konsekuensi yang harus Jordan terima. Sebelumnya ia pernah melakukan pelanggaran dengan mengajak adik kelasnya yang perempuan untuk menonton bioskop hingga larut malam.

CURHAT PasutriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang