Oleh: Nurwati
Sakaw!
Ibu manakah yang tega melihat anaknya dalam kondisi memprihatinkan?
Bukan menderita karena luka yang parah, atau pun sayatan benda tajam. Tetapi, karena virus pornografi seakan menggerogoti setiap bagian tubuh Jordan. Otaknya, saat ini dipenuhi hasrat untuk melihat sesuatu sebagai pemenuh hasrat birahinya.
Seperti obat-obatan dan alkohol, menonton adegan seks juga bisa menjadi hal yang membuat ketergantungan. Ketika Jordan tidak mendapatkannya, Ia kemudian bisa berada pada keadaan sakaw.
"Jordan! Lawan, Nak. Bertempurlah dengan hasrat itu. Ada Ibu, di sini. Tahan, sekuat kau mampu!"
Kugenggam erat tangan Jordan yang mulai terasa dingin, tubuhnya menggigil, untuk kemudian lemas tanpa daya.
Genggaman tanganku, terlepas. Ya, Jordan, bukan lagi sosok balita yang dulu bisa kupeluk, kudekap dalam kehangatan dan ia tenang.
Bukan!
Jordan semakin berkembang kekuatan tubuhnya, jelas ... lengan keibuanku terlalu lemah untuk kembali menopang tubuhnya.
Bulir air mataku semakin deras, melihat hal gila yang Jordan lakukan. Subhanallah ... Ia terus memukul dan meghentakan berulang kepala di sisi petiduran. Matanya memerah menahan hasrat seksual yang biasa bisa disalurkan.
Namun, untuk kali ini, baru pertama setelah lebih dari dua tahun harus menahanya.Bukanlah hal yang mudah, perjuanggan luar biasa untuk dapat mengempas rasa yang kian menjadi, tak dapat tersalurkan.
"Bun, kepalaku seperti melayang. Tolong ijinkan sebentar saja melihat itu," ucap Jordan seraya mendengkus dengan napas memburu, menunjuk ke arah komputer dan lemari pakaian.
Ya, Robb. Ada apa lagi di sana?
Mataku tertuju pada lemari yang menempel di dinding, cukup besar dengan tiga pintu. Sengaja didesain agar mampu menampung berbagai model dan jenis pakaian. Bagian luarnya yang berwarna biru, adalah warna kesukaan Jordan. Setiap sisi lemari, penuh dengan kata-kata mutiara dan penyemangat. Namun, tak tahu ada apa di di balik benda kokoh itu."Tenang, Nak. Ada Bunda yang menemani. Bukankah sudah berwudhu tadi. Yuk, Bunda temani sholat taubat, biarkan Allah membantumu melepas belenggu setan ini," kupeluk kembali tubuh Jordan yang masih menggigil. Desisan suara yang sangat tak nyaman di dengar masih keluar dari bibirnya.
Suamiku, Mas Briliant, nampaknya sudah berada di luar kamar. Saat mendengar sebuah bunyi seperti benda jatuh, ia pun masuk. Ya, Jordan sempat terjatuh dari tempat tidur. Tak banyak kata, hanya begitu sigap mengangkat tubuh Jordan dan membimbingnya untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan-nya.
"Jordan, biar Ayah bantu, Nak."
Dua lelaki yang tingginya hampir sama, berjalan menuruni tangga menuju ruang sholat di samping taman belakang.
Awalnya, Jordan menolak, karena memang selama ini, komunikasi antara ayah dan anak itu, hanya sebatas aktivitas di sekolah.
Briliant, sudah meraih gelar profesor. Tentu menginginkan, gen kepintarannya turun ke Jordan anak semata wayangnya.
Ada sebuah kebanggaan bagi Briliant, saat mendengar Jordan mampu meraih berbagai prestasi akademik, bahkan unggul di seni dan olah raga bela diri.
Ada sebuah penyesalan yang dalam dari diri Briliant. Mengapa selama ini, ia kurang dekat dengan Jordan. Sebuah konsep pendidikan yang telah ia terima, tak mampu diterapkan.
Briliant sangat memahami, setiap anak bukanlah miniatur orang tuanya. Dalam diri mereka, telah ada bakat istimewa, bahkan intan yang sangat berharga. Menunggu waktu untuk dimunculkan, digali dan dikembangkan bakatnya, bukan dipaksa menjadi duplikat orang tua.
Kupercaya, semua sudah menjadi suratan takdir bagi keluarga. Sebuah teguran akan kelalaian kami dalam mendidik Jordan. Tak hanya anak itu, aku dan briliant harus segera memohon ampun atas kekhilafan yang mungkin tak kami sadari.
Kumasih bertahan di kamar, sangat penasaran. Ada apa di balik lemari dan laptop yang ada di meja belajar Jordan?
Tanganku seakan gemetar saat akan membuka lemari itu. Itu adalah salah satu tempat privasi yang sebelumnya kami sepakati, aku tak pernah membuka.
Untuk mendukung penyembuhan Jordan, tentu harus dijauhkan dari faktor pemicunya.
Salah ternyata, jika aku dan briliant memberikan kepercayaan penuh pada Jordan.
Seharusnya di fase saat ini, Ia membutuhkan teman untuk diskusi yang tepat, komunikasi dua arah, tak hanya mendengarkan atau mematuhi perintah.
Lagi-lagi, kusesali diri. Mengapa bisa ada bagian yang terlewat pada pola perkembangan Jordan. Ia yang tidak suka atau kurang merespon dengan baik nasihat orang dewasa, merasa bahwa ia mengetahui segalanya, tak kuberi ruang untuk berdiskusi lebih panjang.
Terlupa, mungkin di sekolah, Jordan juga telah mendapatkan ilmu tentang anatomi tubuh manusia, pendidikan seks dan yang berkenaan dengan hal tersebut. Namun, mungkin ia tak memahami dengan baik.
Ah, jika mengingat saat Jordan berbicara denganku, seakan bundanya adalah sosok super ahli ataupun guru besar, sehingga sulit untuk mengungkapkan yang dirasakan.
Satu persatu kubuka laci di lemari itu. Aman, tak ada yang mencurigakan.
Pakaian seragam, santai, jaket, dan jenis lainnya rapih berjajar. Teemasuk saat kuperiksa satu persatu kantongnya. Aman.
Aku sedikit lega. Berarti dugaan memiliki VCD porno, sebuah prasangka yang salah.
Saat akan menutup, sebuah plastik kemasan terlihat dari salah satu tumpukan baju.
Dengan sangat kehati-hatian kuangkat sebahagian sisinya. Terlihat, beberapa vcd film biru terhampar. Jantungku berdegub kencang, berbagai penggambaran cara bercinta terlihat jelas, tanpa sensor!
Ah, Jordan. Bagaimana bisa ia mendapatkan kaset-kaset laknat itu. Kembali kutelusuri ... ternyata, hampir di setiap bagian bawah pakaian yang tertata rapih, ada vcd itu.
Ya, Allah Jordan! Hampir enam puluh keping. Dan mungkin sudah ia transfer ke laptopnya. Gambar-gambar itu yang menjadi obat ampuh baginya, saat hasrat birahi muncul. Obat yang justru memperparah dirinya.
Apa yang harus kulakukan dengan benda-benda ini?
Oh, Jordanku yang terlihat manis, lucu serta menggemaskan, begitu pandai menyembunyikan semua ini. Ia yang telah tumbuh dan berkembang menjadi dewasa dengan berbagai kebutuhannya, baik fisik, biologis ataupun psikologis, mengalami sebuah krisis diri.
Ya, lagi-lagi salahku.
Maafkan, Bunda. Mungkin aku belum membantumu melewati fase itu."Bund ...," suara Jordan terdengar, wajahnya tertunduk malu saat melihat benda yang kupegang.
Langkah kaki anak lelakiku mulai dipercepat. Alhamdulillah, sakaunya telah terlewat.
Berlutut kemudian mencium tanganku bertubi. Merendahkan tubuhnya, bersimpuh dan mencium kakiku.
"Maafkan, Jordan, Bunda."
Bersambung. .
KAMU SEDANG MEMBACA
CURHAT Pasutri
Non-FictionMembaca Ini Akan Membuka Cakarawala Pengetahuan Tentang Kehidupan Dari Segala sisi Cinta,Pernikahan,Anak,Rumah Tangga Jangan Lupa Vote :)