“Tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah yang dengannya engkau mengharap wajah Allah subhanahu wa ta’ala, kecuali engkau akan diberi pahala dengannya, sampai satu suapan yang engkau berikan ke mulut istrimu.” (HR. Muslim)
Harga diri seorang laki-laki adalah bekerja. Bekerja apa saja, asalkan halal. Tak perlu bekerja tetap di kantor atau berpenghasilan tetap sekian dan sekian, asalkan tetap bekerja. Kewajiban manusia adalah berusaha sekuat apa yang ia bisa, soal hasil serahkan pada Allah Sang Pengatur Rezeki.
Belajarlah dari tawakkalnya burung. Ia konsisten berikhtiar dan tawakkal dalam mencari rezeki. Berangkat dengan perut kosong setiap pagi, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang. Jika burung saja telah dijamin rezekinya, apatah lagi manusia yang dikaruniai akal, keahlian dan kecerdasan untuk memulai suatu usaha.
“Seandainya kalian benar-benar bertawakkal pada Allah, tentu kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki. Ia pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali di sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi no. 2344)
Tak usah gengsi berdagang keliling atau menggelar lapak di pinggir jalan. Tak usah malu dengan pekerjaan remeh yang sering dianggap sebelah mata. Gengsi tidak akan membuat perut kenyang. Dan malu itu ketika seorang laki-laki mampu untuk bekerja, namun memilih untuk berpangku tangan dan melalaikan tanggungjawabnya.
Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sampai mereka berusaha untuk mengubahnya dengan tangan-tangan mereka sendiri. Ikhtiar dulu baru tawakkal, bukan sebaliknya. Harta yang didapatkan dari hasil bekerja keras membanting tulang seharian, jauh lebih baik dan bernilai dibanding harta hasil meminta-minta atau buah dari belas kasihan orang lain.
“Satu dinar yang engkau belanjakan di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, satu dinar yang engkau keluarkan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada seorang miskin dan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu, maka yang paling besar pahalanya dari semua nafkah tersebut adalah satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim no. 995)
Suami dan ayah adalah tulang punggung keluarga. Ia berkewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya sebatas apa yang ia mampu. Namun sebagian laki-laki sengaja melalaikan kewajibannya itu dengan berbagai alasan. Malu memulai usaha, malas bersusah payah mencari pekerjaan, khawatir akan omongan orang, sampai sengaja mengandalkan istri sebagai tulang punggung keluarga.
Laki-laki sehat wal ‘afiat, yang mampu keluar rumah untuk bekerja, yang dengan sadar menyuruh istri bahkan anaknya bekerja dan menanggung nafkah keluarga.. Sementara ia duduk santai ongkang-ongkang kaki bahkan meminta sebagian harta istrinya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, adalah laki-laki yang miskin akan rasa malu dan harga diri.
Selain miskin akan harga diri, laki-laki seperti ini adalah sosok pemimpin yang zhalim. Membebani keluarga dengan sesuatu yang menjadi kewajibannya sebagai kepala keluarga. Jangan heran jika laki-laki seperti ini tidak dihargai dan dihormati oleh anak dan istrinya. Sederhana saja, karena ia telah gagal menghargai dan memposisikan dirinya sendiri sebagai qowwam dalam keluarga.
“Cukuplah bagi seseorang untuk mendapatkan dosa bila ia menahan makanan dari orang yang berhak mendapatkan makanan darinya.” (HR. Muslim no. 996)
Didiklah anak laki-laki kita menjadi laki-laki sejati yang sadar akan kewajibannya sebagai suami dan ayah bagi keluarganya kelak. Bukan laki-laki setengah jadi yang malas dan lalai akan tugasnya, bahkan tega memikulkan beban kepada mereka yang merupakan tanggungjawabnya.
A mature man will face and deal with reality, no matter how hard it is. He will not run or hide away from it. A real man will take his own responsibility and carry it within himself, not place it in someone else’s shoulder.
~ sumber :
© aisyafra.wordpress.com
KAMU SEDANG MEMBACA
CURHAT Pasutri
No FicciónMembaca Ini Akan Membuka Cakarawala Pengetahuan Tentang Kehidupan Dari Segala sisi Cinta,Pernikahan,Anak,Rumah Tangga Jangan Lupa Vote :)