.25. Realita.

42 12 0
                                    

Kenyataannya, apa yang gue tau tentang lo hanya sebatas tau, tanpa pernah lo kasih tau apa yang sebenarnya terjadi. Sebenernya, di mata lo, gue ini siapa, Mee?

~Meera & Aldy~

Dari ujung koridor, Meera sudah menatap Aldy yang sedang berlari ke arahnya. Setelah Aldy sampai di hadapan Meera, ia menunduk mengatur napasnya yang tersengal-sengal sambil memegang kedua lututnya.

Aldy mendongak dan berdiri tegak setelah napasnya sudah kembali teratur. Kedua matanya membulat begitu menatap wajah Meera yang pucat, "Mee, lo gak lagi sakit, kan? Lo baik-baik aja?" tanya Aldy. Meera mengangguk lemah dan tersenyum tipis.

"Gue baik-baik aja kok. Gimana temen-temen lo?"

"Eum, sorry, ya, Mee. Gue gak bisa pulang bareng lo. Pulang ini, gue mau langsung ke rumah Toni buat nyelesaiin masalah." ucap Aldy dengan wajah tampak tak enak hati. Meera terdiam sebelum akhirnya menampilkan senyumannya lagi dan mengangguk.

Tangan kanan Meera terulur mengusap bahu kanan Aldy, "Sabar, ya. Gue yakin kok kesalahpahaman ini cuma sementara. Kalian, kan, kompak." ucap Meera sambil tersenyum walau wajahnya terlihat sangat pucat. Perlahan, Aldy melengkungkan kedua sudut bibirnya, bukan hanya karena ucapan Meera barusan, tapi perilaku Meera yang sangat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Hari ini Meera bersikap sangat hangat pada Aldy.

"Makasih, Mee. Yaudah, gue balik lagi ke BK, ya?" Meera mengangguk, "lo nanti hati-hati bawa sepedanya." lanjut Aldy yang di balas anggukan lagi.

Aldy mengusap pucuk kepala Meera sebelum ia memutar tubuhnya dan kembali ke ruangan BK. Ya, kejadian di lapangan tadi menyeret Toni dan Iwan ke ruang BK, sedangkan Satria, Alvin, dan Aldy hanya ikut menemani proses kedua temannya.

Meera mengembuskan napasnya perlahan dengan kedua bahu merosot. Setelahnya, ia melangkah pulang. Namun, baru saja berbalik sudah ada Rendi di hadapannya.

"Rendi," sapa Meera, menatap Rendi.

Tanpa bicara banyak, Rendi menyodorkan sebuah botol kecil berisi obat-obatan yang ia temukan tadi. Meera menurunkan pandangannya menatap botol kecil yang ada di telapak tangan Rendi.

"Ini obat lo, kan?" tanya Rendi setelah Meera hanya terdiam cukup lama. Meera mendongak menatap wajah Rendi cemas, "lo tenang aja, gue gak akan kasih tau siapa-siapa kok tentang penyakit lo." lanjut Rendi sambil memasukkan tangan satunya ke dalam saku celananya. Meera terdiam menatap manik mata Rendi, mencari kejujuran atas ucapannya barusan. Namun Meera tak menemukan unsur bohong pada sorot mata Rendi.

Perlahan tangan Meera terangkat mengambil botol kecil di telapak tangan Rendi. "Makasih, ya," ucap Meera sangat pelan sambil menunduk. Setelahnya ia memasukkan botol kecil itu ke saku roknya, "dan mohon, jangan kasih tau hal ini ke siapapun, terutama Aldy." lanjut Meera, kini menatap Rendi.

Rendi terdiam, hingga hembusan angin terdengar cukup keras, "Kenapa?"

"Gue mohon." lirih Meera.

Rendi memejamkan matanya sekilas sambil mengangguk-angguk pelan, "Oke, gue gak akan kasih tau Aldy dan siapa-siapa."

Meera terdiam dan kembali menunduk, "Yaudah, gue pulang duluan." ucap Meera langsung berjalan begitu saja melewati tubuh Rendi. Rendi ikut memutar tubuhnya menatap punggung Meera yang mulai menjauh.

"Mee!" teriak Rendi hingga menghentikan langkah Meera. Meera memutar kepalanya dengan kedua alis terangkat.

"Pulang bareng lagi, ya!"

🐣

"Sekarang, coba lo jelasin kenapa lo marah banget sama Toni?" tanya Satria memulai perbincangan di ruang tengah rumah Toni. Kebetulan, kedua orang tua Toni sedang bekerja, hingga di rumah hanya ada Toni saja.

Iwan terlihat tersenyum kecut dan memalingkan wajahnya dengan mata yang sengit. Sedangkan Toni hanya meringis karena sedang diobati lebamnya oleh Aldy. Toni dan Iwan berada di sofa bersebrangan. Toni dengan Aldy, Iwan dengan Alvin, dan Satria yang duduk di tengah-tengah keduanya dengan menaikkan sebelah kakinya ke atas paha.

"Lo tanya aja tuh sama anak itu," jawab Iwan ketus tanpa mau menatap Toni.

"Ya, gimana kita semua mau tau inti permasalahan kalian kalau lo gak cerita, Wan. Kan, Toni udah bilang tadi, dia gak tau apa-apa." jawab Satria sambil mengunyah kacang rebus dengan kerutan di dahinya.

Iwan terdiam sebelum akhirnya kembali membuka suara, "Dia jalan sama Lulu, dan itu semua terjadi tanpa gue tau." jawab Iwan dengan nada bengis.

Toni langsung menegakkan duduknya, ia sudah tak peduli lagi tentang luka lebamnya yang masih terasa nyeri. "Maksud lo apa?"

"Lo yang maksudnya apa jalan sama cewe gue!" sewot Iwan menaikkan satu oktaf suaranya, ia hampir mendekati Toni lagi namun sebelum itu terjadi tubuh gempal Alvin sudah menahan Iwan agar tak menyereng Toni dan tetap duduk dengan tenang.

"Sttt, tenang, Wan. Ini semua bisa di bicarain baik-baik. Gak usah pake emosi," lerai Satria lagi. Sedangkan Aldy kembali menyandarkan punggung Toni ke kepala sofa.

"Sekarang, coba lo jelasin ke kita, apa iya lo jalan sama Lulu?" tanya Aldy beralih menatap Toni.

Toni terdiam sambil berpikir memutar otaknya, karena ia sempat lupa kapan terakhir bertemu dengan Lulu.

"Oh, iya. Gue emang ketemu sama Lulu waktu itu-"

"Bener, kan!" potong Iwan sewot. Semua mata langsung tertuju pada Iwan.

"Diem dulu, Wan. Toni belum selesai ngomong," bisik Alvin sambil menahan bahu Iwan.

"Karena gue gak sengaja ketemu dia di toko buku. Dia ngomong, kalau dia lagi nungguin lo, tapi lo ngaret satu jam. Ya, gimana gue gak kasian? Makanya gue tawarin tumpangan. Ya, mungkin saat itu lo udah sampe di toko buku juga," cerita Toni.

"Lagian lo pernah mikir gak, sih, Wan? Lo itu cowo yang beruntung dipilih Lulu. Padahal gue yang udah lebih lama kenal sama dia, bahkan perasaan gue udah lebih lama dari lo," ucap Toni lagi lalu menunduk. Keadaan seketika menjadi menghening, hanya suara jarum jam yang terdengar memenuhi ruangan, "iya, kalau gue emang pernah iri sama lo, pernah kesel sama lo kenapa dulu gak gue nyatain duluan gue suka sama Lulu sebelum dia kenal sama lo, bahkan gue pun pernah cemburu melihat kalian. Gue akuin itu. Tapi gue gak pernah ada niatan sama sekali buat rebut Lulu dari lo, walaupun Lulu adalah cewe yang gue suka." lanjut Toni sambil mengangkat wajahnya, menatap wajah Iwan yang masih terlihat marah namun sudah tak sesarkas sebelumnya.

Toni terdiam, "Lo tau alasannya kenapa? Karena gue gak mau merusak kebahagiaan Lulu. Gue akan lebih baik kalau gue yang tersakiti, daripada harus Lulu yang gak bahagia sama gue. Gue bahagia, ketika Lulu bahagia. Bahkan gue akan ikut senang ketika Lulu selalu aja cerita tentang lo saat sama gue. Walaupun dalam hati, hati gue sakit. Gue pikir, dengan gue merelakan dia sama lo, lo gak akan pernah berpikiran gue akan rebut dia dari lo, tapi ternyata enggak. Gue harus kaya gimana lagi, Wan?" Toni kembali membuka suaranya dengan pelan, ada nada kerapuhan dalam setiap katanya. Bahkan suara Toni terdengar bergetar beberapa kali.

Iwan mengangkat wajahnya dengan lesu, mendengar pernyataan Toni barusan membuatnya merasa cukup bersalah, padahal sejauh ini Toni tak pernah sekalipun memaki dirinya bahkan menghajarnya, bahkan Toni merelakan gadis yang selama ini ia sukai pada dirinya.

"Ton, gue mint-" ucapan lirih Iwan terhenti karena Toni yang langsung bangkit dari duduknya dan berlalu meninggalkan keempat temannya tersebut.

"Kalian pulang aja. Gue gak mau di ganggu," ucap Toni ketika langkahnya berada di tengah anak tangga, namun tak memutar tubuhnya sedikitpun, "dan, makasih udah ngobatin gue, Dy." lanjut Toni sebelum akhirnya kembali melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga.

🐣

Ya allah nyesek sendiri, sedih sendiri, baper sendiri ngetik dialog Toni:( masya allah rasa iniiii

Jangan lupa vote dan komen cinte🌹

🐣

By; AishaNabila.

MeerAldy (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang