Tatapan sendu penuh cinta miliknya yang tak pernah bisa membuatku berpaling pada yang lain.
Tatapannya terlalu mengunci.
~Meera & Aldy~
™
Jari-jari lentik yang semakin kurus itu terus bergerak, menggerakkan pena yang digenggamnya, menuliskan sepatah demi sepatah kata yang ia goreskan di atas kertas putih yang ada di pangkuannya. Bibir mungilnya yang kian memucat itu tampak membentuk lekukan senyum tipis.
Angin berembus kencang menerpa wajah pucat gadis berdarah keturunan Turki itu. Kini sudah tak ada lagi rambut panjang hitam bergelombang yang menjadi mahkota gadis itu, kini hanyalah helaian rambut tipis yang ditutupi oleh kupluk berwarna maroon. Namun wajah cantik nan manis itu masih tak pernah berubah.
Hingga suara ponsel yang berada di dekatnya membuatnya berhenti menulis, mau tak mau ia mendongakkan wajahnya untuk menatap layar ponselnya yang menampilkan nama 'Rendi' sang penelfon.
"Hallo, Ren?"
"Gimana kabar lo?"
Senyum tipisnya kembali terukir di bibir pucatnya, ia beralih menutup buku diary yang sedari tadi ada di pangkuannya lalu ia taruh di atas meja yang ada di sampingnya, "Baik kok."
"Tadi gue ketemu Aldy, Mee," suara di sebrang sana mampu membuat gadis bernama Meera itu tertegun beberapa saat begitu mendengar nama yang sudah tak asing lagi, namun ada suatu hal yang selalu istimewa begitu namanya terdengar, "dia sempet mendesak gue untuk kasih tau lo di mana. Tapi, tenang, rahasia lo aman kok." lanjut Rendi setelah menjeda ucapannya beberapa saat.
Meera kembali tersenyum, bahkan kali ini terlihat lebih bermakna dan sirat akan pedih. Meera menunduk, "Dia baik-baik aja, kan?" tanya Meera pelan, nyaris seperti bisikan.
"Baik kok. Cuma kayanya, agak kehilangan semangat hidup deh," ucap Rendi diiringi kekehan di sebrang sana, mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba canggung. Meera ikut terkekeh sambil memainkan kuku jarinya.
Hening beberapa saat.
Meera mengulum bibir pucatnya, nampak terlihat ragu melontarkan ucapan yang ada di otaknya. Sedetik kemudian, terdengar helaan napas dari Meera, bola matanya berotasi ke atas menatap awan Bandung yang terlihat sedikit kelabu, "Gue kangen banget sama Aldy." lirih Meera dengan nada sedikit bergetar ditambah helaan napas yang terdengar berat.
Rendi terdengar mengembuskan napasnya perlahan di sebrang sana, "Aldy juga pasti kangen lo."
"Tapi gue takut..," lirih Meera, mulutnya mulai terisak dengan air mata yang mulai membasahi pipinya.
"Takut kenapa?"
"Gue takut kalau harus ninggalin Aldy. Gue takut mati, Ren. Gue takut..," lirih Meera yang tak sempat terselesaikan karena isakannya.
"Mee, lo dengerin gue, ya. Lo tenang, oke. Jangan berpikiran gitu. Lo harus percaya lo akan sembuh, ya." ucap Rendi, mencoba menenangkan isakan-isakan Meera yang mulai terdengar jelas."Jangan nangis dong, gue jauh nih gak bisa hibur lo."
Meera menyeka air matanya sambil mengangguk-angguk, padahal Rendi tak akan melihatnya, "Maaf, ya, Ren. Kalau selama ini gue ngerepotin lo."
"Enjoy, hehe," ucap Rendi diiringi tawa ringannya, "tapi lo dan keluarga bener-bener baik-baik aja, kan, di Bandung? Lo udah jalanin kemo ke berapa di sana? Dokternya gimana? Baik gak?Cerita dongg."
Meera tersenyum simpul lalu menarik napasnya dalam-dalam, "Baik semua kok. Gue udah hampir tiga kali kemo dan..., dan rambut gue udah tipis banget, Ren," ucap Meera dengan nada yang sumbang namun diiringi kekehan.
"Jangan sedih dong. Lo pasti tambah cantik deh kalau botak. Jadi pengen liat, hehe."
"Gak boleh! Gue malu tau." ucap Meera, Rendi ikut tertawa. Setelahnya keduanya sama-sama terdiam.
"Gue ganti nomer begitu gue sadar saat itu, Ren. Makanya sampai saat ini Aldy gak bisa hubungin gue," Meera mulai membuka mulutnya, hendak bercerita. Meera menghela napasnya perlahan, "gue kayanya bakal ngejauh dari Aldy deh kalau udah masuk sekolah."
"Lho, kenapa?"
"Gapapa. Gue udah mikirin ini dari lama sih dan kayanya, emang lebih baik kaya gini."
"Lo yakin?"
"Cara paling baik ya itu, Ren. Mau gak mau, gue harus buat Aldy benci gue, sampai akhirnya nanti dia ngelupain gue dan gak pernah mau kenal gue lagi," ucap Meera terdengar tegar meski terasa begitu berat diucapkan.
"Gue gak bisa komen apa-apa sih kalau misal itu mau lo. Asal lo bahagia dan gak sedih-sedih." tutur Rendi.
"Thank's, Ren."
"Yaudah, udah dulu, ya, Mee. Gue ada urusan nih. Dah, assalamualaikum."
Telfon pun terputus.
"Waalaikumussalam," jawab Meera lirih sambil menurunkan ponselnya perlahan.
Otak dan hatinya kembali berperang. Mengenai keputusan yang barusan ia ucapkan pada Rendi tadi, sebenarnya itu adalah keputusan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, namun mau bagaimana lagi? Mau tak mau, semuanya harus dipaksa berakhir. Harus dipaksa berhenti sebelum semakin jauh melangkah. Walau konsekuensi dari keputusan ini adalah sama-sama terluka. Baik Meera maupun Aldy nantinya akan sama-sama tersakiti. Tak apa, akan lebih baik seperti itu, Meera tak mau membuat Aldy pusing memikirkan tentang dirinya, termasuk perkara penyakit yang dideritanya ini. Bagi Meera, Aldy berhak mendapatkan masa depan yang lebih baik daripada mengurusi apalagu mencintai dirinya yang berpenyakitan ini.
Bagaimanapun keadaannya, keduanya sama-sama akan terluka. Diambil dari sudut pandang apa pun, keduanya sama-sama akan tersakiti.
🐣
Rendi mengembuskan napasnya berat sambil mengutak-ngatik ponselnya. Setelah memutuskan sambungan telefon yang terhubung ke Meera matanya menerawang menatap ke luar jendela kamarnya yang menampilkan jalan yang sepi di depan rumahnya. Pikirannya terpusat pada Meera, entah apa yang membuatnya begitu kecanduan memikirkan Meera belakangan ini. Seperti kata pepatah, semuanya terjadi seiring berjalannya kebersamaan yang sering dilalui bersama.
Untuk Rendi, semuanya terasa asing dan sedikit mengusik dirinya. Ada tanda tanya besar yang selalu bertengger di otaknya dan selalu teringat ketika sebelum beranjak tidur, apa selama ini ia menaruh perasaan pada Meera? Tapi hatinya selalu menolak keras bisikan itu, bukan karena tak menginginkannya, hanya saja ia masih sadar diri untuk tidak menjatuhkan diri pada sebuah perasaan yang salah, yang bisa saja membuat dirinya terjebak nantinya dan membuatnya patah hati, dan Rendi tak mau menyakiti dirinya sendiri hanya karena perasaan yang belum tentu direstui semesta.
Namun, mau ditahan sekuat apapun perasaan itu, Rendi tetap saja kalah karena begitu kerasnya rasa yang ada. Seperti hal nya ketika kalian tau semua akan berakhir menyakitkan, namun kalian tak mampu sedikit pun untuk menghentikan semuanya karena ketidakrelaan hati tentang perihnya mengikhlaskan. Bukan karena ingin menyiksa diri, hanya saja beberapa orang memiliki alasan kenapa lebih memilih semesta menjalankan takdir sesuai dengan ketetapan-Nya, karena mereka percaya setiap yang Tuhan takdirkan pada mereka adalah sebuah anugerah yang patut untuk disyukuri.
Pada dasarnya, semesta selalu mempunyai rahasia yang amat sederhana, sesederhana air laut kembali kepermukaan melalui hujan. Biarlah, perasaan Rendi menjadi rahasia semesta yang paling istimewa, meski tak pernah berbalas.
🐣
Serumit-rumitnya kisah Meera sama Aldy, itu hanya cerita yang alurnya akan di atur oleh aku😂dan hanya aku yang akan tau mereka akan berakhir bagaimana. Jadi, banyak-banyak minta happy ending aja deh ke aku!😆
Dengan cara:
*Komen atuh ihh:vOkee, jan lupa vote dan komen babe💖
Makasii udah setia sama MeerAldy:3

KAMU SEDANG MEMBACA
MeerAldy (On Going)
Teen FictionTanganku bergerak ragu membuka surat itu, lagi. Tapi tulisan itu selalu bisa membuat rinduku terobati akan sosoknya. Perlahan, senyumku terlihat menyedihkan kala menatap tulisan itu untuk kesekian kalinya. Dengan tinta hitam dan kertas menguning yan...