Semua yang nampak baik-baik saja tanpa tau bagaimana sebenarnya, seperti mencicipi makanan tanpa bisa melihat wujudnya.
Memang terasa manis, namun kita tak pernah tau bagaimana bentuk makanan itu,
hancurkah atau sempurnakah.
~Meera & Aldy~
™
Jari-jari Aldy terlihat beberapa kali menggeser mouse, menscroll layar laptopnya yang sedang menampilkan foto-foto Meera dari kartu memory yang sempat tak sengaja ia ambil dari sang empunya. Aldy mengembuskan napasnya gusar sambil mengacak rambutnya frustasi. Pasalnya sudah hampir satu bulan ia tak pernah menemui Meera, bahkan rumahnya pun sudah terlihat tak berpenghuni. Walau sesekali Aldy pernah melihat seorang wanita baya yang selalu bertugas membersihkan rumah Meera yang kosong di taman depan. Aldy juga sering bertanya pada wanita baya itu perihal kemana perginya penghuni rumah itu, namun wanita baya itu selalu tersenyum dan mengatakan tidak tau keberadaan pemilik rumah bertingkat dua tersebut.
Aldy cukup gila memikirkan berbagai macam hal tentang Meera dan keluarganya. Apalagi Meera pergi tanpa memberinya kabar. Sampai akhirnya Aldy berjengit cukup kaget ketika pintu kamarnya tiba-tiba di ketuk.
"Aldy?" panggil Wulan dari luar kamar Aldy.
Aldy menoleh menatap pintu kamarnya yang tertutup, "Buka aja, Mah."
Wulan langsung menekan knop pintu, lalu mendorongnya perlahan. Terlihat punggung Aldy yang sedang duduk di meja belajar tepat di hadapan laptop, hal yang biasa Wulan lihat ketika sedang memeriksa aktivitas Aldy sebelum beranjak tidur.
"Kok belum tidur? Lagi banyak tugas, ya?" tanya Wulan sambil ikut menatap layar laptop putranya yang menampilkan beberapa foto Meera. Wulan mengembuskan napasnya berat dan beralih menatap putranya sendu, "Meera masih belum ada kabar?" tanya Wulan pelan. Aldy hanya mengangguk sebagai jawaban.
Wulan terdiam memutar otaknya untuk mencari cara agar Aldy bisa terhibur. Hingga akhirnya, Wulan menemukan sebuah ide. Wulan membulatkan matanya sambil tersenyum lebar menatap putranya, "Dy! Mau denger cerita Mamah sama almarhum Ayah gak?" tanya Wulan dengan nada yang sangat antusias.
Awalnya, Aldy terlihat begitu tak bersemangat menatap Wulan. Namun, begitu melihat tatapan memelas Wulan yang seolah memaksanya untuk mengiyakan tawarannya itu, membuat Aldy mengangguk pelan seraya memejam.
"Bukan cerita Mamah kabur lewat belakang rumah buat malam mingguan bareng, kan?" intrupsi Aldy sebelum Wulan memulai ceritanya. Wulan terkekeh sebentar lalu menggeleng cepat.
"Engga, atuh!" sanggah Wulan dengan logat sundanya yang kental. Sejatinya, Wulan memang terlahir dan besar di Bandung. Namun, begitu bertemu dengan mendiang suaminya, ia jadi ikut pindah ke Jakarta, lebih tepatnya di rumah dinas mendiang suaminya yang saat itu berprofesi sebagai seorang Tentara.
"Bentar," lirih Wulan lalu berbalik menggeret kursi yang bertengger di pintu kaca pemisah antara kamar Aldy dan balkon ke dekat meja belajar Aldy, "Kamu tau gak?-"
"Gak tau, kan, belum Mamah kasih tau," cerocos Aldy sambil menyenderkan punggungnya di kepala kursi. Aldy sudah memutar tubuhnya menghadap Wulan sepenuhnya.
Wulan mendesis kesal, "Mamah belum selesai ngomong. Dengerin dulu makanya," ketus Wulan.
Aldy terkekeh pelan melihat wajah Mamahnya yang terlihat kesal itu, "Terus apa, Mah?"
Wulan tersenyum penuh arti, "Dulu, pas Mamah masih seusia kamu, Mamah juga mengalami hal yang sama seperti yang kamu rasa sekarang-"
"Oh, ya? Emang gimana coba rasanya?" tanya Aldy kembali bergurau sambil menyeringai geli melihat gurat Mamahnya yang kembali kesal. Aldy melipat kedua tangannya di depan dada sambil menahan tawa melihat wajah Wulan yang semakin terlihat lucu.

KAMU SEDANG MEMBACA
MeerAldy (On Going)
Teen FictionTanganku bergerak ragu membuka surat itu, lagi. Tapi tulisan itu selalu bisa membuat rinduku terobati akan sosoknya. Perlahan, senyumku terlihat menyedihkan kala menatap tulisan itu untuk kesekian kalinya. Dengan tinta hitam dan kertas menguning yan...