Rasa terbesar dari mencintai namun menyakitkan adalah; merelakan dia bersama dengan orang lain.
~Meera & Aldy~
™
Langkah kaki Meera terus berayun beriringan bersama langkah Rendi yang berjalan di sampingnya. Entah apa yang membuat Rendi nekad meninggalkan motornya di parkiran sekolah dan malah menemani Meera.
"Aldy kemana? Kok tumben gak pulang bareng," tanya Rendi menatap Meera.
"Dia ke rumah temennya, mau nyelesaiin masalah di lapangan tadi," jawab Meera tanpa menoleh pada Rendi. Rendi mengangguk-angguk.
"Enak, ya, Aldy punya banyak teman. Sedangkan gue, untuk berteman pun harus mikir berkali-kali," ucap Rendi diakhiri kekehan.
Dahi Meera berkerut lalu menatap Rendi, "Kenapa? Kok gitu."
"Gue trauma sama persahabatan gue yang dulu," ucap Rendi dengan mata menerawang, "dulu gue orang bandel, Mee. Suka bolos, suka tawuran, dan hal-hal lain yang biasa anak bandel lakukan. Tapi, setelah ada penyeleksian anggota OSIS entah kenapa gue pengen banget nyalonin, saat itu gue berpikir untuk berhenti jadi anak bandel karena selama gue jadi anak bandel, bokal gue selalu marah-marah dan nyokap gue nangis, gue cape jadi anak bandel. Pas gue denger ada penyeleksian anggota OSIS, disitu tekad untuk menjadi lebih baik muncul, gue harus banggain orang tua, bukan hanya bisanya nyusahin, pikir gue pada saat itu," lanjut Rendi memulai ceritanya, wajahnya nampak menerawang dengan senyuman pahit di bibirnya. Sepertinya ini pengalaman yang cukup tidak enak bagi Rendi.
Meera hanya bisa diam dan hanya bergumam.
"Pas gue udah daftar, gue cerita ke temen-temen gue walau pada awalnya gue takut karena lo tau sendiri, kan, anak bandel di sekolah sama anggota OSIS itu musuhan. Mereka marah sama gue saat itu dan ngejauhin gue. Ya, lo bayangin aja, disaat gue lagi butuh support dan dukungan dari orang terdekat, gue malah ditinggalin dan dianggap gak pernah ada diantara mereka," ucap Rendi kembali menceritakan masa lalunya, "dan sampai saat gue dapet gelar ketua OSIS pun butuh perjuangan yang gak akan pernah gue lupain. Dimana saat itu gue diremehin, karena semua senior OSIS tau kalau gue adalah mantan anak bandel. Tapi disitu gue terus yakinin senior OSIS untuk meloloskan gue di seleksi, gue terus menyusun strategi dan buat visi misi dengan sebaik yang gue bisa. Sampai akhirnya, gue masuk final. Dan lo tau gak lawan gue saat itu siapa?" Rendi beralih menatap Meera yang kini menatapnya juga. Meera menggeleng dan Rendi hanya terkekeh pelan, "lawan gue saat itu adalah Aldy."
Meera tertegun untuk beberapa saat, kedua matanya menatap Rendi tak percaya, dan Rendi malah tersenyum, "Gue tau lo pasti gak bakal percaya. Tapi itulah kenyataannya. Dia itu hebat, Mee. Gue salut sama dia. Lo tau kenapa?"
"Kenapa?"
"Saat acara final, dimana gue sama Aldy harus berdebat dengan visi misi masing-masing dan menghadapi puluhan pertanyaan dari siswa SMA Galaksi dan beberapa guru tentang visi misi yang kami buat, Aldy malah gak hadir-"
"Kenapa gak hadir?" tanya Meera memotong cerita Rendi yang belum selesai.
Rendi kembali tersenyum, "Saat itu Satria kecelakaan pas berangkat ke sekolah dan masuk rumah sakit. Keadaan Satria waktu itu koma, makanya Aldy memutuskan untuk meninggalkan final dan menemui sahabatnya. Dia lebih mementingkan sahabatnya dari pada final. Pas gue tanya, kata dia, gak ada yang lebih penting dari sahabat gue sekalipun itu adalah final, begitu jawab Aldy. Gue diem, gue terharu banget dia ngomong gitu dan gue rasa yang berteman sama Aldy itu adalah orang-orang yang beruntung. Sedangkan temen-temen gue, malah ninggalin gue gitu aja disaat gue lagi butuh banget mereka, dan semua itu terjadi cuma karena pergaulan." ucap Rendi mengakhiri ceritanya.
"Terus temen-temen lo itu, masih satu sekolah? Kenapa gak coba untuk baikan aja sih?" tanya Meera menatap Rendi.
"Mereka udah dikeluarin dari sekolah, karena gue."
"Kenapa?"
Rendi tersenyum miris, "Tugas gue sebagai ketua OSIS adalah memantau sekolah, baik keadaannya atau murid-muridnya. Kebiasaan gue dan anggota saat itu adalah keliling ke area sekitar sekolah buat raziaan seminggu sekali. Pas gue lewat ke kantin yang ada di belakang sekolah, gue liat temen-temen gue, mereka lagi pada ngerokok. Jujur, saat itu gue juga bingung gue harus apa. Gue harus bilang ke kepala sekolah atau memilih semakin dibenci oleh teman-teman gue. Sampai akhirnya, gue memutuskan untuk melaporkan kejadian itu, bukan karena mau dibenci tapi ini adalah tugas dan kewajiban gue," cerita Rendi lagi, "selesai itu, mereka dipanggil ke BK, mereka dikeluarin karena udah terlalu banyak kasus dan mereka tambah membenci gue. Sedangkan gue, merasa bersalah atas apa yang udah gue lakuin, walaupun gue tau itu yang seharusnya gue lakuin." lanjut Rendi lalu tersenyum tipis mengingat kejadian itu.
"Tapi menurut gue, yang lo lakuin itu juga udah bener, kok. Biar mereka sadar, kalau selama ini apa yang mereka lakuin itu salah. Lo gak usah merasa bersalah, yang lo lakuin itu bagus kok, gak kalah hebat sama yang Aldy lakuin." ucap Meera menanggapi cerita Rendi dengan kata-kata mendukung. Rendi tersenyum.
"Ya, semoga mereka sadar. Tapi itu yang buat gue takut untuk berteman lagi," ucap Rendi pelan lalu menoleh menatap Meera.
"Gak semua teman kaya gitu kok. Gue yakin, lo pasti bakal punya temen yang gak hanya mau nemenin lo disaat lo senang, tapi disaat yang paling lo butuhkan banget." ucap Meera kembali menyemangati Rendi.
"Semoga." lirih Rendi sambil menunduk.
"Dulu juga gue susah bergaul, gue cuma punya temen yang bisa dihitung oleh jari. Tapi setelah gue pindah kesini, ada seseorang yang begitu pengen banget berteman sama gue, sampe gue sendiri juga bingung, kenapa dia mau berteman sama gue disaat semua temen-temen gue di Turki ngira gue cewe aneh. Bahkan, dia ngelakuin berbagai cara aneh agar bisa berteman sama gue," cerita Meera dengan mata berbinar. Meera terkekeh diakhir kalimatnya, "akhirnya, gue berteman sama dia. Entah kenapa, gue bahagia banget kalau sama dia. Gue bisa senyum dan ketawa sekarang karena dia, lo percaya gak?" tanya Meera beralih menatap Rendi. Rendi terkekeh dengan dahi berkerut dan memutar bola matanya.
"Kok bisa?"
"Itulah hebatnya dia. Lo tau, kan, gue dulu orangnya gak banyak ngomong, jarang senyum, jarang ketawa, dan flat. Tapi setelah ketemu dia, semua yang terasa gak mungkin gue lakuin jadi memungkinkan banget." jawab Meera mantap dengan senyum merekah. Rendi tertegun melihat senyum Meera yang terlihat begitu bahagia dan lepas.
"Emang, dia siapa, Mee?" tanya Rendi.
"Aldy."
🐣
Maap partnya sedikit yaaa:(
Soalnya kalau di potong sama adegan berikutnya gak greget gaes. Jadi insya allah di part selanjutnya panjangggggg.
Jangan lupa vote dan komen zayang💖
🐣
By; AishaNabila.
KAMU SEDANG MEMBACA
MeerAldy (On Going)
Teen FictionTanganku bergerak ragu membuka surat itu, lagi. Tapi tulisan itu selalu bisa membuat rinduku terobati akan sosoknya. Perlahan, senyumku terlihat menyedihkan kala menatap tulisan itu untuk kesekian kalinya. Dengan tinta hitam dan kertas menguning yan...