Tanya Hati (6)

24.2K 5K 474
                                    

Selamat siang semuanya. Have a proper and appetizing lunch.

Enjoy
*
*
*

Ibu senang banget waktu aku bilang ke beliau kalau aku dan Marco sedang menjalani a steady relationship. Ibu memintaku untuk serius dan melupakan apa pun yang terjadi di masa lalu.

I didn't tell her about the rejection part. Tapi ya namanya insting emak-emak, ya beliau tahu saja aku patah hati. Dia berharap banget Marco bisa jadi pelabulan terakhirku.

To be honest, that've been come to my mind lately. Hampir sebulan sudah kami jalan bareng. I treat him as nicely and sweetly as I can. Aku cukup nyaman dengan kenaikan tingkat ini.

Munafik banget kalau aku bilang aku sudah move on dari Vino. He's that charming sampai rasanya aku butuh pegang tangan Marco erat-erat setiap Vino ada di dekat kami.

Thankfully, tanpa aku perlu minta tolong, Marco lebih dulu selalu menyelamatkanku. Entah dia ngajak Vino ngomong soal kerjaan atau tentang diving -their favorite sport.

Settle down dengan Marco. Aku ragu, tapi anehnya ide itu muncul terus. Ah, ini pasti karena teman-temanku sudah pada menikah.

"Mikirin apa, sih?" bisik Marco.

Aku menggeleng sambil tersenyum. "Tebak dong. Situ kan mind reader."

"Semenjak pacaran, kemampuan baca pikirannya hilang nih," candanya.

"Alhamdulillah," aku mengucap syukur. "Akhirnya aku punya privacy."

Marco terkekeh geli.

Kami sedang berada di rumah Robi, syukuran rumah baru. Tamunya nggak banyak. Cuma keluarga dan teman-teman terdekat Robi dan Windy.

"Aku pengen kari nih. Kamu mau nggak?" aku menawarkannya.

"No, thanks. Entar kalau pengen aku ambil sendiri aja," dia lalu bangkit dari kursi. "Sayang, aku mau nyamperin Gandi dulu ke depan, ya."

Aku mengacungkan jempol lalu beranjak untuk mengambil sepiring kari.

"Lapar banget?" suara Vino menghentikan tanganku yang siap mengambil sepotong daging.

Aku menelan ludah. Santai. Santai. Duh, nggak ada Marco lagi.

"Lumayan," jawabku lalu tersenyum canggung. "Ehm...saya duluan ya, Pak."

"Eve,"

Aku langsung berjalan cepat meninggalkannya. Kuhampiri Nana dan Ajeng yang sedang ngobrol dengan Windy.

"Muka lo kayak orang yang baru liat setan," ejek Nana sambil cekikikan. "Mana ada setan seganteng Vino, Eve."

Crap. Nana pasti melihat adegan ngacirku tadi.

"Masih deg-degan ya deket-deket sama Pak Vino?" goda Ajeng.

Aku memanyunkan bibir. Windy memilih diam tapi dia ikut senyum-senyum.

"Nggak papa. Wajar. Kan udah gue bilang. Semuanya butuh proses," ungkap Nana sambil mengelus perutnya yang mulai membesar.

"Tapi gue kasihan deh sama Pak Vino," Ajeng berkata pelan, takut kedengaran yang lain kayaknya. "Belakangan ini gue perhatiin dia agak gloomy gitu. Suka melamun juga."

"Wah, gue aduin ke Gandi nih kalau lo suka perhatiin Vino," Nana menyahut.

Ajeng memutar bola mata. "Seriously, Na. Tapi ini beneran. Kayak yang banyak pikiran gitu. Kalau kerjaan kayaknya nggak deh."

Mission : Discovering LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang