Zero Chemistry (2)

21.7K 3.8K 414
                                    

Pakde lovers pasti geregetan sama chapter ini

Happy weekend.

Enjoy
*
*
*

Galih

Sebenernya gue pengin banget nolak tawaran perjodohan dari Nyokap Kikan. Kan yang gue mau anaknya, bukan keponakannya.

Tapi rasanya gue nggak sopan banget kalau langsung bilang ogah. Mau gimana pun, beliau adalah calon mertua gue. Gue nggak mau keliatan terlalu ngebet sama anaknya sementara Kikan aja belum lulus S1.

Apalagi waktu nyokapnya bilang soal rencana studi S2 ke Inggris. Tambah kicep dong gue. Ya sudahlah. Sabar aja. Kalau mau nunggu yang terbaik itu emang harus ada sacrifice-nya. Entah waktu, tenaga, atau pun duit.

Lagian gue mau cek ombak. Kali aja pas ada si Erin-Erin ini, Kikan cemburu terus sadar deh sama perasaannya. Hahahaha.

"Happy banget lo," komentar Fachri sambil menggendong Raihan.

"Kan udah jadi Om. Harus menebar positive vibe," jawabku sok bijak.

Indri yang masih terbaring di ranjang rumah sakit terkekeh geli. "Jadi bapaknya kapan, Lih?"

"Tunggu tanggal mainnya lah," gue menaik-naikkan alis.

"Butuh ekstra sabar ya," sahut Indri lagi.

Gue mengangguk. Kening Fachri mengerut. Mungkin dia bingung kami bicarain apa.

Dasar sohib paling nggak peka sedunia.

"Kikan mana sih?" tanya gue sok santai.

"Nemani Bokap Nyokap makan siang di kantin RS," jawab Fachri.

Hampir dua puluh menit kemudian, pintu kamar inap Indri terbuka dan Kikan, kedua orang tuanya beserta tiga orang yang gue nggak kenal sama sekali masuk.

Gue langsung menyalam calon mertua. "Siang, Om dan Tante."

"Siang," balas papa Fachri singkat dengan senyum tipis.

Fachri banget. Astaga.

"Galih sudah datang, ya. Kebetulan banget," Mama Fachri bersuara. "Kenalin ini sepupu Tante. Yang ini anaknya. Namanya Erin."

Gue memperkenalkan diri sambil menjabat tangan sepasang suami istri yang keliatannya beberapa tahun lebih muda dari orang tua Fachri.

"Galih."

"Erin."

Cantik juga si Erin ini. Agak mirip dengan Kikan. Sama-sama berambut hitam legam, sama-sama berkulit sawo matang, dan sama-sama punya hidung yang mancung.

Bedanya adalah Erin punya lesung pipi yang bahkan kalau ngomong saja sudah keliatan dan dia lebih tinggi daripada Kikan. Mungkin 160 cm lebih.

"Galih ini sahabatnya Fachri sejak kuliah," Mama Fachri mempromosikanku. "Sedang mencari pendamping."

Gue tersenyum malu-malu. Trik aja sih. Om dan Tante nya Fachri tertawa sementara wajah Erin sedikit memerah. Dia pasti paham maksud dibalik perkataan mama Fachri.

Mereka menghampiri Fachri, Indri dan Raihan, bertanya ini itu, proses melahirkan, kenapa memilih nama Raihan dan lain sebagainya. Erin memberikan nasehat-nasehat medis sementara ibunya memberikan nasehat-nasehat khas orang tua yang kadang nggak make sense tapi tidak ada salahnya dituruti.

Kikan kayaknya ngantuk. Muka bantal banget. Padahal sudah siang. Apa dia kurang tidur?

"Kerja di Priok juga, Mas Galih?" tanya Erin sopan.

Mission : Discovering LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang