Bagian Tiga : Antara Waktu dan Garis Hidup

959 31 6
                                    

Bingkai-bingkai foto itu masih berjajar dengan rapi di dekat televisi. Tidak ada yang mengubahnya, semuanya masih terlihat sama seperti 7 tahun yang lalu. Baik Hendra maupun Sandra, keduanya tetap akan selalu mempertahankannya. Foto keluarga kecil mereka juga masih terpampang jelas di salah satu dinding di ruangan keluarga. Ukurannya yang sengaja dicetak dengan ukuran besar itu pun selalu menjadi pusat perhatian pertama bagi siapa saja yang memasuki rumah itu.

Sebenarnya Hendra sempat memutuskan untuk pindah rumah. Namun ketika ia bertanya pada Sandra, putrinya langsung menolak mentah-mentah permintaannya. Sandra selalu berkata kalau ia tidak tega meninggalkan mamanya sendiri di sana. Walaupun Irma telah tiada, namun Sandra seakan masih bisa mencium wangi khas wanita itu.

Rumah itu sangat berharga. Penuh kenangan yang begitu berarti selama hidupnya dan sulit untuk ditinggalkan begitu saja, tanpa terkecuali oleh Hendra sendiri.

Sandra menarik napasnya begitu menyentuh sebuah hourglass di atas meja belajarnya. Benda itu selalu menjadi bahan renungannya selama beberapa tahun terakhir. Benda yang menjadi hadiah ulang tahunnya yang ke sepuluh. Irma memberikan benda itu padanya, bahkan Sandra masih ingat betapa bahagianya dirinya saat itu.

"Ini supaya kamu tahu, betapa pentingnya waktu. Tidak ada yang tahu, apa yang akan terjadi kalau waktu benar-benar berhenti. Jika kamu hanya diam menunggu, kamu hanya akan membuang semua kesempatan hidupmu. Tapi jika kamu melakukan sesuatu sesuai dengan keinginanmu, melakukan hal-hal yang baik misalnya. Kamu akan tahu betapa pentingnya menghargai waktumu. Menghargai waktu artinya kamu menghargai diri kamu sendiri."

"Semua orang memiliki garis hidupnya masing-masing."

Tangan Sandra bergetar ketika menyentuh benda itu. Semua pasir di dalamnya terlihat berkumpul di tabung bagian bawah. Menyisakan tabung bagian atas yang telah benar-benar kosong. Sebenarnya benda itu sudah berhenti menghitung waktu sejak 7 tahun yang lalu. Namun Sandra tidak berniat sama sekali membaliknya dan membuatnya kembali seperti semula.

"Enggak ada gunanya. Itu enggak bisa bikin Mama kembali lagi."

Sandra meletakan tasnya di kursi belajar. Tanpa mengganti seragamnya, ia pergi keluar dari kamarnya.

"Mau Bibi masakin sesuatu, Non?" tanya seorang wanita paruh baya yang berpapasan dengannya. Dia Bi Surti. Asisten rumah tangga yang sudah bekerja selama belasan tahun di rumahnya, sekaligus teman terdekat mamanya.

"Bikinin nasi goreng aja Bi. Kayak biasanya. Kecapnya dikit, ya. Pake telor juga."

Bi Surti langsung mengangkat tangan kanannya ke udara, membuat gerakan hormat. "Siap, Non!"

Sandra tersenyum. Bi Surti memang senang bercanda. Semasa dirinya masih kecil, Bi Surti sering menemaninya bermain jika mama dan papanya sedang pergi.

"Aku mau ke depan, nyiram mawar punya Mama." Sandra tersenyum tipis sebelum akhirnya pergi. Bi Surti hanya menatap punggung Sandra yang menjauh. Punya Mama, Sandra sering mengatakannya jika hendak menyirami bunga-bunga mawar merah di pekarangan rumah meskipun sebenarnya dia tidak pernah menyukai mawar. Sementara Irma sangat menyukai mawar, itu yang membuatnya menanam bunga itu di sana.

Bi Surti sedikit merasakan sesak di dadanya setiap kali Sandra menyebutkan soal mamanya. Bagaimanapun, Surti sudah lama bekerja di rumah itu dan dia mengenal dengan baik bagaimana sosok Irma. Wanita yang berhati lembut, namun kuat dan rapuh di saat yang bersamaan. Bohong jika Bi Surti tidak merasakan kehilangan. Wanita yang berumur setengah abad itupun merasakan hal yang sama seperti keluarga itu. Mereka semua sudah seperti keluarga baginya, tanpa terkecuali.

🌹

Ruangan itu penuh dengan kepulan asap. Begitu terlihat sesak, namun tidak bagi si penghuni ruangan. Ia justru terlihat menikmatinya dengan kedua mata terpejam. Sesuatu yang berasap terlihat dijepit di antara jari telunjuk dan jari tengahnya.

Kesandra ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang