Bagian Dua Puluh Tiga : Kenangan

465 24 13
                                    

Kevin melemparkan tasnya asal begitu memasuki kamarnya. Dia langsung merebahkan tubuhnya di kasur lalu menatap langit-langit di ruangan itu.

"Gue titip cewek gue."

"Gue minta sama lo. Jangan pernah tinggalin dia sendiri. Sekecewa apa pun lo sama Daffa, gue mohon, jangan tinggalin dia."

Kevin bangkit dari posisinya dan mengambil sebuah kotak hitam yang berada di dalam laci. Dia mengeluarkan sebatang rokok, lalu kemudian menyalakan sebuah pemantik. Tidak perlu memerlukan waktu yang lama untuk melihat kepulan asap itu kembali berterbangan di kamarnya. Namun Kevin tidak peduli. Dia hanya butuh waktu sendiri untuk menenangkan otaknya.

Bagaimana tidak? Di satu sisi, Daffa menitipkan Sandra padanya. Dan di sisi lain, Sandra pun melakukan hal yang sama. Mereka berdua tidak ingin mengecewakan satu sama lain dan memilih untuk menyembunyikan lukanya masing-masing. Dan sekarang, justru keadaan seperti menyerangnya secara bersamaan. Kevin seperti dituntut untuk menyelamatkan keduanya, namun di sisi lain dia sendiri sudah tidak bisa berbuat apa-apa.

Satu hal yang Kevin pelajari dari hal ini. Mereka berdua tidak terbuka. Daffa dan Sandra lebih memilih menyakiti diri sendiri daripada harus saling menyakiti. Padahal, jujur itu lebih baik. Meskipun rasanya sakit.

Seharusnya Daffa menceritakan masalahnya pada Sandra. Begitu pun sebaliknya, di mana Sandra seharusnya berbicara tentang semua hal yang ingin dia bicarakan, yang ingin dia utarakan, dan yang ingin dia tanyakan. Dan bukan malah memendam.

Cinta itu perihal menjaga satu sama lain, namun bukan berarti memendam luka masing-masing. Cinta itu perihal seberapa mampu mengutarakan kejujuran. Jujur pada diri sendiri, dan jujur pada pasangan. Bukan hanya berbagi suka, namun juga berbagi duka.

Kevin tidak pernah mengerti dengan yang namanya cinta. Banyak orang yang bahagia karena cinta, namun tidak sedikit pula yang sengsara. Ada yang cintanya berat sebelah, atau istilah lainnya adalah bertepuk sebelah tangan. Ada yang cintanya seimbang, namun masih banyak bimbang. Ada pula yang tidak pernah membahagiakan dirinya sendiri. Memilih untuk memendam perasaan dan membiarkan luka menggerogoti hati.

Bunga mawar itu masih berada di sebuah frame yang terpajang di salah satu dinding kamarnya. Warnanya sudah tidak merah lagi, malah cenderung cokelat yang kian hari malah kian menghitam. Tangkainya sudah tidak sekuat waktu itu, itulah mengapa Kevin memilih untuk menyimpannya di sebuah bingkai dan menutupnya dengan kaca. Baunya sudah tidak sewangi dulu lagi, dan mahkotanya sudah tidak segar lagi. Satu per satu berjatuhan, namun Kevin tidak berniat sama sekali untuk membuangnya. Dia juga tidak berniat memperbaikinya. Karena menurutnya, apa pun yang sudah rusak akan tetap rusak. Meskipun sudah diperbaiki dengan segala cara.

Hanya satu yang tidak akan pernah rusak. Yakni kenangan.

"Ayo kasih bunganya ke Kevin."

"Enggak mau! Mama aja yang kasih!"

Irma menatap putri kecilnya yang tampak kesal dengan bibir yang mengerucut. Wanita itu mengelus puncak kepala Sandra kecil dengan amat lembut.

"Nanti, kamu sama Kevin nggak bakal ketemu lagi. Kasih bunga itu buat kenang-kenangan."

"Tapi aku nggak-"

"Sandra ... "

Sandra kecil menggembungkan kedua pipi tembamnya dan beralih menatap Kevin yang sedari tadi berada di depannya. Anak itu perlahan berjalan mendekati Kevin yang saat itu juga tengah bersama dengan Wulan.

"Nih!" ucap Sandra dengan bibir yang masih mengerucut. Dia membuang pandangannya ke arah lain.

"Ini aku yang petik sendiri. Emm ... dibantu sama mama sih. Tadinya buat bu guru. Tapi mama malah nyuruh aku buat ngasih ini ke kamu. Cepet terima! Pegel tauk!"

Kesandra ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang