Bagian Dua Puluh Satu : Kekecewaan Terbesar

478 26 17
                                    

"Sekarang lo di mana?!"

Angga hanya bisa memejamkan matanya setiap kali Kevin menaikkan volume suaranya. Dia lalu menatap ke gerbang sekolahnya yang dibuka oleh security. Sebuah mobil berwarna hitam dan motor terlihat melaju melewatinya hingga benar-benar meninggalkan area sekolah.

"Gue di sekolah. Daffa pulang, Vin. Anak-anak yang tadi masuk ruangan Kepala Sekolah disuruh pulang. Orang tua mereka juga dipanggil."

Panggilan langsung di tutup oleh Kevin secara sepihak. Angga hanya membuang napasnya. Dia benar-benar tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Sedih, marah, kecewa, dia tidak tahu.

Andai aja gue tadi ngikutin lo, Daf. Andai aja sejak dulu gue jauhin lo sama Beny. Andai aja gue tahu masalah lo. Andai aja-

Angga mengacak rambutnya hingga kusut. Cowok itu memukul dinding di dekatnya hingga tangannya memerah.

"Sorry, Daf. Gue gagal jadi temen lo." Napas Angga tersengal. Dadanya sesak, tidak percaya dengan apa yang terjadi dengan sahabatnya itu. Dia benar-benar tidak menyangka. Sosok Daffa yang selama ini menjadi panutannya, sosok yang disegani oleh begitu banyak orang di sekolahnya, menuai berbagai prestasi, kini malah menghancurkan masa depannya sendiri. Apa yang dipikirkannya hingga bisa masuk ke pergaulan yang salah?

Narkoba sama sekali bukan jalan keluarnya, Daf. Bukan. Sesulit apa pun masalah lo, narkoba enggak akan pernah bisa ngebantu. Lo salah, Daffa! batin Angga. Dia harap ini mimpi. Namun sayang sekali karena Tuhan tidak memberinya kesempatan untuk bangun.

Di seberang sana, Kevin mengusap wajahnya kasar. Rahangnya mengeras dan kedua tangannya mengepal kuat. Dia pun memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana dan langsung melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Membelah jalanan kota tanpa peduli dengan suasananya yang ramai.

Harusnya gue sadar sejak awal tentang kedekatan lo sama Beny. Harusnya gue nyari tahu semuanya. Cukup gue yang berengsek di sini, Daf. Jangan lo.

Kevin menaikkan lagi kecepatan motornya. Dia benar-benar diselimuti amarah. Dia kecewa. Dia menyesal. Menyesal karena merasa gagal. Dia gagal menjaga sahabatnya sendiri.

Lima belas menit berlalu. Kevin sudah memarkirkan motornya di depan sebuah rumah. Dia sudah sampai sejak tadi dan tidak berniat sama sekali turun dari motornya. Bahkan seorang asisten rumah tangga di sana sempat menyuruhnya masuk atau sekadar menawarkan minum, dan langsung ditolak oleh Kevin. Membuatnya di tatap oleh ART itu, merasa tidak biasa saat Kevin datang ke sana saat siang hari. Apalagi ini masih jam sekolah dan Kevin yang masih mengenakan seragam.

"Mas Daffa masih sekolah. Kok Mas Kevin tumben udah ke sini?" tanya Bi Lilis. Kevin sudah cukup mengenal wanita paruh baya itu karena dia sudah sering ke sana.

"Bibi masuk aja. Aku nunggu di sini," ucap Kevin tanpa mengalihkan pandangannya.

Bi Lilis pun hanya mengangguk patuh. Dia tidak ingin membuat mood Kevin semakin memburuk. Namun sebelum ia benar-benar berbalik, matanya menangkap ke sebuah mobil yang baru saja memasuki halaman rumah. Kedua alisnya bertaut, apalagi saat sebuah motor yang berada di belakangnya.

"Loh ... Mas Daffa kok tumben udah pulang?" gumam Bi Lilis.

Sementara Kevin tidak melepaskan tatapannya sama sekali dari Daffa. Cowok itu memberhentikan motornya, tidak lama setelah mobil milik Rafael. Kevin pun segera mendekat dengan langkah lebar tepat saat Daffa membuka helm dan menampakkan wajahnya yang suram. Tidak ada ekspresi apa pun di sana.

Rafael menyadari kedatangan Kevin saat memasuki halaman rumahnya. Dia melihat Kevin yang berjalan mendekat ke arah putranya dan langsung mengunci pintu mobil tanpa berniat keluar.

Kesandra ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang