Bagian Empat Puluh Empat : Jemputan

323 20 8
                                    

Satu per satu murid mulai meninggalkan kelas. Malika menoleh pada Sandra begitu dia hendak pergi. Dia menepuk pelan pundak Sandra.

"Gue duluan, ya?" ucapnya. Sandra hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Dia lalu memakai tasnya dan pergi dari sana. Setibanya di koridor lantai dasar, dia bertemu dengan Adnan dan Kevin.

"Cieee ... sendirian. Mana temen lo? Pasti lo ditinggalin," celetuk Adnan tiba-tiba.

Malika memutar kedua bola matanya malas. "Gak usah sok tahu lo. Sandra masih di kelas, ada materi tambahan dari Bu Jasmin."

Adnan mengangguk paham. Dia lalu merangkul bahu Kevin dan berjalan mendahului Malika. "Oke deh, gue sama Kevin duluan."

"Vin, ntar malem jadi kan? Gue sama anak-anak yang lain nunggu di tempat biasa." Adnan memakai helm dan segera menaiki motornya begitu sampai di parkiran.

"Oy, Vin!"

Kevin mengerjap begitu suara Adnan membuyarkan lamunannya. "Eh? Jadi kok. Chat aja ntar."

"Sip. Kalo gitu gue duluan." Perlahan motor Adnan melaju meninggalkan parkiran. Kevin justru masih berdiri di tempatnya. Dia menatap kunci motor yang berada di tangannya.

"Apa gue nungguin Gio, ya?" gumamnya, namun kepalanya langsung menggeleng. "Gak usah lah. Dia kan bisa naik taksi." Kevin segera memakai helm. Dia langsung menaiki motornya dan pergi dari sana.

"Gue ngelakuin buat Daffa, bukan buat lo,"

Kevin semakin menaikkan kecepatan motornya, meninggalkan area sekolah.

Sori, Gi.

🌹

Kevin sudah mengganti pakaiannya dengan kaus hitam polos dan celana pendek. Dia lalu membaringkan tubuhnya di atas ranjang dan menatap langit-langit kamarnya, sebelum pandangannya teralih pada salah satu frame yang terpajang di salah satu dinding.

"Kira-kira udah berapa tahun ya, Gi?" gumamnya. Dia menatap setangkai mawar tua yang terpajang rapi di sana. Kevin tertawa pelan, dia kini merasa seperti Beast di dalam film Disney. Mawar merah yang diberikan oleh sang penyihir tidak akan layu, selama mahkota terakhir masih ada. Itu berarti sang pangeran masih memiliki kesempatan untuk menemukan cinta sejatinya.

Tapi mawar merah yang dimiliki Kevin adalah bunga mawar yang langsung diberikan oleh sang putri. Sayangnya, mawar itu sudah layu dan mati sejak belasan tahun lalu. Apakah itu berarti kesempatannya sudah berakhir?

Kevin tersenyum getir dan menolehkan kepalanya ke jendela, menatap langit yang sudah dihiasi oleh semburat jingga.

"Tante titip Sandra, ya. Jaga dia. Semarah apapun kamu sama dia, Tante mohon. Jangan tinggalin dia sendiri. Dia itu sebenarnya rapuh sekali."

Lagi-lagi dia kembali mengingat ucapan Irma. Kenapa wanita itu bisa begitu percaya padanya? Padahal dia selalu membuat Sandra menangis, bahkan pernah membuatnya tidak masuk berhari-hari karena jatuh dari tangga. Kevin tidak pernah mengerti. Tidakkah wanita itu pernah merasa marah padanya?

Kevin membuang napas dan memilih memejamkan kedua matanya. Tapi tidak lama setelah itu, suara mamanya terdengar dari balik pintu. Kedua mata Kevin lantas terbuka.

"Vin?" panggil Wulan lagi.

"Kenapa, Ma?" Kevin menyahut tanpa mengubah posisinya. Dia masih berbaring di atas ranjang.

"Barusan Om Hendra telepon. Katanya dia dapat telepon dari rumah kalo Sandra belum pulang. Biasanya Sandra pulang sama kamu, 'kan?"

Kevin seketika langsung mendudukkan tubuhnya dan berlari membuka pintu hingga Wulan terperanjat.

Kesandra ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang