Bagian Tiga Puluh Lima : Permintaan Maaf Kevin

454 24 8
                                    

Hendra menatap kursi di depannya yang terlihat masih kosong. Biasanya Sandra sudah berada di sana sebelum dirinya datang. Namun kali ini dia tidak melihat batang hidung putri semata wayangnya itu sejak tadi siang. Dia bahkan tidak tahu kapan tepatnya Sandra pulang.

"Bi, Sandra belum makan malam? Tumben piringnya masih bersih."

Bi Surti yang sedang mengelap piring itu pun menghentikan kegiatannya sejenak. "Belum, Pak. Anu ... tadi Bibi lihat Non Sandra langsung ke kamar waktu pulang dari rumah Mas Daffa."

Hendra menaikkan sebelah alisnya. "Sendiri?"

"Iya. Hujan-hujanan lagi. Bibi juga bingung. Biasanya diantar sama Mas Kevin. Kayaknya mereka berantem lagi deh. Sejak tadi Non Sandra tidak mau makan. Keluar dari kamar aja enggak mau."

"Separah itu?" Hendra mengernyit. Dia tahu kalau putrinya memang tidak pernah akur dengan Kevin. Namun tidak pernah separah ini. Biasanya Sandra hanya akan badmood atau paling tidak menggerutu di rumah seharian.

Hendra pun kembali meletakkan sendok ditangannya ke atas piring dan berjalan menuju lantai dua, tepat ke kamar Sandra.

"Sandra?" panggilnya setelah mengetuk pintu kamar putrinya. Namun tidak terdengar sahutan sama sekali. Hendra tidak berpikir kalau Sandra tidur sebelum jam tujuh malam. Jika sudah seperti ini, sudah dipastikan kalau ada yang tidak beres.

"Makan malam dulu. Bi Surti bilang katanya tadi kamu hujan-hujanan. Nanti kamu masuk angin, San." Hendra kembali mengetuk pintu di depannya namun hasilnya nihil. Dia menghela napas.

"Kamu gak enak badan? Makan dulu, nanti minum obat. Jangan bikin Papa khawatir."

"Sandra?"

Helaan napas kembali keluar dari bibir Hendra. Akhirnya dia menyerah dan pergi dari sana. Dia memilih membiarkan Sandra menenangkan dirinya terlebih dulu, Hendra sama sekali tidak ingin membuat mood anak itu semakin memburuk.

"Gimana, Pak?" tanya Bi Surti saat melihat Hendra yang kembali ke meja makan.

Hendra menggelengkan kepalanya. "Gak  berhasil, Bi. Kayaknya kali ini masalahnya agak serius. Sandra bahkan gak dengerin ucapan saya."

"Duh, gimana dong. Kasihan Non Sandra."

"Biarin aja dulu, Bi. Mungkin Sandra butuh waktu menenangkan diri dulu. Kalau dia lapar, dia pasti turun. Setidaknya itu sedikit lebih baik daripada dia tidak merasakan lapar sama sekali," ucap Hendra lalu kembali melanjutkan kegiatan makan malamnya.

Sementara itu di dalam kamar, Sandra terlihat  berbaring menatap ke luar jendela kamar dengan tatapan kosong. Ponselnya yang sengaja dia ubah getar itu pun sedari tadi tidak henti-hentinya bergetar. Pesan dan panggilan bergantian masuk, tapi Sandra sama sekali tidak memedulikannya. Dia membiarkan benda tipis itu terus bergetar di atas nakas di dekat ranjang.

"Kalo seandainya aku bikin kesalahan, apa perasaan kamu akan tetap sama?"

Lagi-lagi kalimat itu muncul di kepalanya. Mendadak kepalanya pusing. Entah karena perutnya yang sejak tadi belum diisi, atau karena beban pikiran yang bertambah.

Sekarang Sandra jadi ragu. Apakah dia akan mampu bertahan di rumah lamanya yang sudah jelas-jelas rusak dan melukainya? Atau justri pergi sejauh mungkin mencari rumah baru untuk ditinggali? Atau mencari rumah untuk sekadar persinggahan?

Tes.

Cairan bening itu kembali lolos dan jatuh ke permukaan bantalnya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apa dia sanggup ke sekolah? Sanggup bertemu teman-temannya dan beraktivitas seperti biasa? Dan ... bertemu dengan Kevin?

Kesandra ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang