Daffa menatap sebuah koper yang berada di sebelahnya. Kedua matanya lalu memandang pagar tinggi rumahnya yang dibuka oleh Bi Lilis. Dia berharap ada seseorang di baliknya. Dia berharap orang itu akan menemuinya, Daffa benar-benar merindukannya, dia ingin memeluknya untuk terakhir kali, dia—
Daffa tersenyum getir.
Percuma, Daf. Semuanya udah berakhir. Benar-benar berakhir.
"Kamu siap, Daf?" Natasia menyentuh bahu putranya. Wanita itu mencoba tersenyum, meskipun sebenarnya dia tahu apa yang ada di dalam pikiran Daffa saat ini. Pandangannya teralih pada pagar rumah. Natasia menghela napas. Dia berharap sekali Sandra akan datang. Namun sepertinya gadis itu sudah teramat kecewa hingga membuatnya enggan menginjakkan kaki di rumahnya lagi.
Sementara Rafael yang sedari tadi sudah berada di dalam mobil tampak memerhatikan putra semata wayangnya itu.
Tidak seharusnya kamu menyia-nyiakan gadis seperti Sandra, Daf. Dia selalu ada buatmu. Tapi lihat sekarang? Kamu sudah membuat luka di dadanya.
Perlahan Daffa memasukkan kopernya ke dalam bagasi. Rasanya berat sekali untuknya pergi, namun dia harus melakukannya.
"Hati-hati ya, Bu. Pasti Bibi kangen banget sama kalian." Bi Lilis berujar dengan kedua mata yang mulai berair.
"Enggak lama kok. Saya titip rumah sama Bibi. Saya nanti sesekali berkunjung ke sini. Lagi pula saya juga gak lama, kan cuma nganter Daffa," ujar Natasia.
"Mas Daffa sehat terus, ya. Jangan lupa makan. Jangan banyak pikiran. Nanti pulang lagi ke sini kalau sudah sembuh."
Daffa mencoba tersenyum. Dia lalu memeluk Bi Lilis. "Makasih ya, Bi. Kalau gitu aku berangkat dulu." Daffa menyalami tangan Bi Lilis sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil. Bi Lilis yang melihat itu hanya mampu menahan sesak di dadanya. Dia tahu, yang Daffa butuhkan saat ini adalah dukungan dari Sandra. Andai saja—
"TUNGGU!!"
Rafael yang hendak menginjak gas langsung menghentikkan kakinya. Seorang gadis tampak menuruni motor dengan terburu-buru dan langsung berlari ke arah mobil.
Daffa yang melihat itu pun terkejut. Dengan segera dia kembali membuka pintu dan keluar. Matanya memerah melihat gadis yang berlari ke arahnya. Dia berharap ini bukanlah mimpi.
Sandra langsung memeluk tubuh Daffa begitu erat dengan tangisan yang sudah pecah sejak tadi. Jujur dia memang terluka, namun di sisi lain dia juga sangat merindukan lelaki itu.
"Aku minta maaf, Daf. Aku minta maaf," ujar Sandra di sela tangisnya. Daffa membalas pelukan Sandra tak kalah erat. Dia sampai meneteskan air mata. Dia begitu kecewa pada dirinya sendiri. Apalagi saat melihat Sandra menangis, dia begitu mengutuk dirinya sendiri. Penyebab gadis itu menangis adalah dirinya.
"Aku yang minta maaf, San. Aku udah bikin kamu kecewa."
Sandra melepas pelukannya dan menatap Daffa. "Kamu harus janji sama aku. Kamu harus sembuh sat kamu kembali nanti. Kamu bisa, Daf. Aku bakalan terus berdoa buat kamu."
Daffa mengusap air mata Sandra dengan kedua ibu jari. Tangannya kini bergerak mengelus rambut Sandra.
"Makasih, San. Makasih karena selalu ada buat aku bahkan ketika aku hancur."
"Kamu gak hancur, Daf. Semua orang punya masalah hidupnya masing-masing. Inget, kamu harus sembuh." Sandra mencoba tersenyum. Dia mengusap puncak kepala Daffa yang lebih tinggi darinya.
Sudut bibir Daffa ikut tertarik ke atas. Dia kembali menarik tubuh Sandra ke dalam pelukannya dan mencium kening gadis itu.
Tidak jauh dari posisi mereka, Kevin yang semula berdiri di dekat motornya kini berjalan mendekati Daffa. Ada rasa perih yang menyelimutinya ketika melihat Daffa memeluk Sandra, terlebih saat dia mencium kening gadis itu. Namun Kevin segera membuang pikiran itu, dia sadar posisinya.
Menyadari kedatangannya, Daffa pun melepaskan pelukannya pada Sandra.
"Makasih, Vin. Kalo nggak ada lo, gue nggak mungkin bisa ketemu sama Sandra. Selama ini lo selalu bantuin gue. Gue bener-bener berterima kasih." Daffa beralih merangkul Kevin.
"Lo harus balik lagi," ujar Kevin saat Daffa melepas rangkulannya. Daffa mengangguk.
"Gue titip Sandra sama lo. Tolong jaga dia baik-baik."
Kevin menatap Sandra sejenak sebelum menganggukkan kepalanya. "Gue bakalan jaga dia."
"Makasih, Vin."
"Makasih ya, karena kalian sudah datang. Tante bener-bener gak nyangka." Natasia dan Rafael keluar dari mobil. Wanita itu juga memeluk Sandra.
"Makasih, San."
"Maaf karena Daffa membuat kalian kecewa. Tapi Om berharap, hal ini tidak akan memutuskan hubungan kalian bertiga." Rafael menatap ketiga remaja yang kini saling menatap satu sama lain itu.
"Mas Kevin sering-sering ke sini ya, nanti Bibi masakin. Bibi pasti bakalan banget sama Mas Daffa. Jadi sebagai gantinya, Mas Kevin yang ke sini."
Kevin tersenyum mendengar ucapan Bi Lilis.
Setelah itu, Daffa kembali berpamitan pada Sandra dan Kevin. Rasanya berat sekali meninggalkan Sandra, walaupun kini mereka hanya sebatas teman. Namun rasanya masih tetap sama. Sandra akan selalu menjadi rumahnya, apa pun yang terjadi.
Sandra melambaikan tangannya ketika mobil milik Rafael menjauh dan menghilang dari pandangannya. Sementara Kevin menatap Sandra tanpa gadis itu sadari. Seandainya dia berada di posisi Daffa, apakah Sandra akan melakukan hal yang sama?
"Vin? Ayo, pulang." Sandra menghapus air matanya yang kembali jatuh. Hal itu membuat Kevin tersadar dari lamunannya. Mereka pun segera berpamitan pada Bi Lilis dan segera pulang.
Kevin segera mengantarkan Sandra pulang ke rumah. Tidak ada satu pun percakapan sepanjang perjalanan. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Kevin melajukan motornya dengan kecepatan sedang, sengaja agar Sandra bisa menenangkan perasaannya lebih lama.
"Mau makan dulu, Gi?" tanya Kevin dari balik helm full face-nya.
"Enggak perlu. Langsung aja pulang." Sandra hanya memandang setiap pemandangan yang mereka lewati.
Keadaan kembali hening. Kevin sesekali melirik Sandra lewat spion.
"Om tahu. Kamu sebenarnya sayang sama Sandra, kan?"
Kevin memikirkan ucapan Hendra tempo hari. Apakah ucapannya itu benar? Apakah dia benar-benar menyayangi Sandra .... Lebih dari teman?
Entah kenapa, memikirkannya membuat dada Kevin terasa sesak. Dia kembali membuang jauh pikiran itu. Dia tidak boleh menyukai Sandra jika tidak ingin gadis itu semakin menjauhinya.
Kevin menarik napas dalam-dalam. Seketika dia menertawakan dirinya sendiri yang kini terlihat begitu cengeng dan lemah.
Apa salah, kalo gue sayang sama lo, Gi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesandra ✔
Teen FictionKehidupan Sandra berubah semenjak bertemu kembali dengan rivalnya sejak kecil, yakni Kevin. Hari-harinya terasa begitu menyebalkan karena cowok itu terus-menerus mengganggunya. Namun di balik semua itu ternyata Kevin menyimpan sebuah rahasia dengan...