Bagian Tiga Puluh : Permintaan Maaf Beny

471 22 0
                                    

Natasia masih terisak sembari menatap selembar kertas di hadapannya. Tepat ketika dia pulang dari apotek, Rafael pulang ke rumah dengan membawa sebuah amplop putih. Natasia benar-benar masih tidak memercayai semua ini. Dunianya seakan benar-benar hancur saat membaca isi amplop itu. Rafael kembali ke kantor tanpa sepatah kata pun setelah memberikan amplop itu. Lalu meninggalkan istrinya yang tengah berkabung.

“Di surat itu dikatakan kalau Daffa sudah memakai barang haram itu selama dua minggu.” Rafael masih bergeming di ambang pintu kamar. Kedua tangannya dilipat di depan dada namun tidak ada ekspresi sedikit pun yang terpancar di wajahnya. Ia membuang napasnya pelan.

“Kita harus segera melakukan rehabilitasi,” lanjutnya.

Natasia sontak mengangkat wajahnya kemudian menatap Rafael, “lalu bagaimana dengan sekolah Daffa?”

“Kita bisa mendaftarkannya ke sekolah lain setelah rehabilitasi. Bagaimana pun, ini kasus yang cukup serius. Memangnya sekolah mana yang mau menerima mantan pecandu narkoba seperti-“

“Cukup!” Natasia menutup kedua telinganya dengan tangan. Dia benar-benar tidak tahan setiap Rafael membahas Daffa. Lelaki itu seakan-akan memandang jijik putranya sendiri. Memang hal yang dilakukannya itu tidaklah salah. Namun sebagai seorang ibu, Natasia merasa tidak tega.

Rafael berjalan mendekati Natasia yang kini kembali terisak. Diraihnya tubuh istrinya itu dan langsung mendekapnya erat. Tangannya bergerak mengelus punggung Natasia dengan lembut berusaha menenangkannya.

“Papa rasa sebaiknya kita pindahkan Daffa ke luar kota. Kita bisa melakukan proses rehabilitasi di sana. Semakin cepat semakin bagus. Ma, ini demi Daffa juga. Anak kita.”

Natasia melepaskan tangan Rafael dan beralih menatap lelaki itu, “Papa yakin? Lalu bagaimana jika-"

“Ma, kita tidak akan pernah tahu hasil tanpa mencoba menjalani proses. Kita harus berusaha. Ini adalah salah satu ujian yang Tuhan berikan untuk kita sebagai orang tua. Dan kita harus membuktikannya, kalau kita layak disebut orang tua.”

Natasia langsung memeluk tubuh Rafael dengan begitu erat. Betapa bersyukurnya dirinya dipertemukan dengan Rafael. Sosok laki-laki yang selama ini menjadi panutannya. Natasia benar-benar bersyukur, ketika lelaki di luar sana yang mungkin sudah mengusir anaknya ketika mendapati anaknya itu terjerat kasus narkoba. Atau mungkin dia akan mengusir juga istrinya karena menganggap kalau istrinya itu tidak becus dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang ibu.

Namun Rafael berbeda, lelaki itu bahkan masih dengan sabar mengajaknya berjuang bersama ketika badai besar menghantam rumah tangga mereka. Bersedia mengulurkan tangannya  dan mengajaknya bangkit.

Daffa mengusap sesuatu yang jatuh ke permukaan pipinya. Bohong jika dia merasa baik-baik saja. Ketika melihat kedua orang tuanya berjuang menaiki jurang yang telah dibuatnya. Jatuh hingga ke dasar yang paling gelap. Lalu berjuang mati-matian naik hingga ke puncak.

Memang benar, kasih sayang orang tua kepada anaknya sepanjang masa. Rafael dan Natasia bisa saja langsung mengusirnya dan membuangnya. Namun rupanya kedua orang tuanya itu masih memiliki nurani.

Daffa segera pergi dari sana tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Dia awalnya begitu khawatir mendengar isak tangis Natasia yang terdengar cukup jelas karena kamar orang tuanya tidak begitu jauh.

“Mau Bibi siapin makanan, Mas?” tanya bi Lilis begitu melihat Daffa menuangkan air ke dalam gelas. Dilihatnya wajah Daffa sudah tidak sepucat tadi pagi. 

“Enggak usah, Bi. Aku masih kenyang.” Daffa tersenyum tipis dan mendudukkan dirinya di salah satu kursi di meja makan.

“Tadi non Sandra khawatir banget pas tahu Mas Daffa sakit. Apalagi pas tahu Mas Daffa enggak mau makan. Dia langsung ke dapur buat bikin bubur. Tahu gitu mah dari kemarin ibu pasti manggil non Sandra ke sini.”

Kesandra ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang