Kevin menatap ke sekelilingnya yang tampak tak asing. Perlahan kedua kakinya bergerak dan dia pun berjalan melewati satu per satu ruangan. Keningnya berkerut, mencoba mengingat-ingat. Dia yakin dia pernah ke sana.
Kakinya terus bergerak menyusuri lorong yang seperti tak berujung itu. Suara derap langkahnya mengalun pelan mengikutinya. Sampai pada akhirnya dia berhenti saat melihat ada seseorang di depan sana. Sosok itu perlahan berlari ke arahnya.
Seorang gadis kecil dengan bando merah berhenti tepat di depannya. Gadis itu tersenyum. Kevin pernah bertemu dengan gadis itu, tapi di mana?
Tiba-tiba tangannya ditarik pelan dan dia berjalan kembali ke belakang, mengikuti gadis itu. Kevin bahkan harus sedikit berlari untuk menyeimbangkan langkahnya. Dia menatap tangan kecil yang menggenggamnya. Dadanya bergemuruh pelan.
Gadis kecil di depannya itu ... Sandra.
Kevin kembali menatap ke sekitarnya. Tempat itu tidak lain adalah sekolahnya. Dia melihat sebuah papan yang terpajang di depan salah satu ruangan.
Sekolah Dasar Pelita Harapan
"Gio," lirih Kevin. Kedua sudut bibirnya perlahan naik. Gadis kecil itu menolehkan kepalanya ke belakang seraya tersenyum lebar hingga menampakkan deretan gigi putihnya.
Tidak lama kemudian mereka berhenti. Gadis itu lalu melepas tangan Kevin dan berlari menghampiri seseorang. Kevin mengerutkan dahi. Bukankah itu ...
Gadis kecil tadi perlahan mendekat padanya. Dia memberikan setangkai mawar merah.
Kevin terdiam selama beberapa saat dan perlahan menerima bunga itu. Dia menatap sosok di belakang Sandra.
"Tolong jaga Sandra baik-baik," ujar Irma seraya tersenyum.
Kedua mata Kevin menyipit saat menatap cahaya yang begitu menyilaukan.
"Dokter, pasien sudah sadar."
🌹
"Itu mawar dari lo, Gi."
"Lo yang ngasih itu ke gue sewaktu acara perpisahan sekolah," lanjut cowok itu.
"Jangan tanya alasan kenapa gue masih simpan itu."
Sandra menatap mawar-mawarnya dari atas balkon kamar. Satu hal yang tidak pernah dia sangka sebelumnya yaitu saat mengetahui kalau Kevin masih menyimpan mawar pemberiannya beberapa tahun lalu. Sandra juga tidak pernah menduga kalau situasinya akan cukup rumit.
Apapun alasannya, gue gak mau denger, Vin, batinnya. Tidak lama kemudian, ponsel miliknya yang berada di atas meja tampak bergetar. Sandra segera mengangkat panggilan masuk itu saat tahu kalau Adnan yang meneleponnya.
"Kenapa, Nan?"
"Kevin udah sadar, San."
Sandra terdiam selama beberapa saat. "Oh, ya? Syukurlah. Lo ... masih di situ? Ini udah malem."
"Gue tadi pulang, terus ke sini lagi. Ada Tante Wulan sama Om Bayu juga. Lo kalo mau liat kondisi Kevin, gue bisa video call—"
"E-enggak usah, Nan."
"Loh, kenapa?"
"Gue udah ngantuk. Besok aja gue ke sana. Titip salam buat Kevin."
"Oke deh."
Panggilan ditutup setelahnya. Sandra sedikit bernapas lega. Sejujurnya dia merasa senang saat mendengar Kevin telah sadar. Tapi jauh di dalam hatinya, entah kenapa dia merasa ragu untuk menemui cowok itu.
Sandra kembali menatap hamparan mawar di bawah sana. Kenapa Kevin harus melakukannya sampai sejauh ini? Kenapa dia tidak menyerah saja? Kenapa dia harus menyakiti dirinya sendiri? Tidakkah dia lelah? Tidakkah dia ingin menyerah?
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Sandra. Perlahan Hendra masuk dan menghampiri putrinya.
"Kenapa belum tidur? Udah malem loh ini," ucap pria itu seraya mengusap pelan puncak kepala Sandra sebelum akhirnya ikut duduk di sana.
"Aku gak bisa tidur," lirih Sandra seraya tersenyum getir.
Hendra menghela napas pelan. "Papa udah denger dari Bayu, kalau Kevin katanya kecelakaan tadi pagi. Terus katanya kamu didiskualifikasi dari kompetisi. Bener?"
Sandra tersentak pelan. Dia menunduk, tidak ingin melihat raut kecewa papanya.
"Maaf," ucapnya lirih. "A-aku cuma takut Kevin kenapa-napa. Tante Wulan bilang Kevin maksain pergi cuma buat liat aku berangkat ke kompetisi, padahal dia masih sakit. Aku gak tahu kalau Kevin sampe ngelakuin itu. Kalo aja bukan gara-gara aku, Kevin pasti baik-baik aja sekarang. Dia gak bakalan masuk rumah sakit."
"Tapi tadi kamu donorin darah buat Kevin," ucap Hendra hingga Sandra terdiam selama beberapa saat. Pria itu melanjutkan, "kamu sampai melewatkan kompetisi itu, padahal selama ini kamu sudah mempersiapkan semuanya. Sekhawatir itu kamu sama Kevin. Dan sepeduli itu Kevin sama kamu."
Hendra tersenyum tipis, dia langsung mengusap bahu Sandra saat menyadari kalau netra putrinya itu mulai berkaca-kaca. "Kevin itu sayang sama kamu, San," lanjutnya hingga Sandra langsung menatapnya.
"Kevin memang pernah mengakuinya di depan Papa. Tapi jauh sebelum itu, Papa sudah lebih tahu. Kamu tahu, San? Kevin itu kuat menahan semuanya. Dia bahkan terlihat begitu tenang, gak peduli seberapa sering dia lihat kamu sama Daffa dulu. Serapi itu dia bersembunyi. Apa kamu pernah berpikir, jika kamu berada di posisi Kevin, apa yang akan kamu lakukan? Kamu mungkin akan menyerah. Bukankah Kevin bisa saja rebut kamu dari Daffa waktu itu? Tapi yang dia lakukan justru sebaliknya. Bahkan saat Daffa mengecewakan kamu pun, Kevin nyuruh kamu agar gak ninggalin Daffa, 'kan? Dia sayang sama kamu, San. Lelaki sejati seperti Kevin tidak akan pernah menghancurkan kebahagiaan orang yang disayanginya meskipun hal itu akan melukai dirinya di saat yang bersamaan. Dan Papa rasa sekarang kamu tahu, alasan kenapa mama menitipkan kamu sama Kevin."
Setetes cairan bening itu akhirnya jatuh. Bodoh, Sandra mengutuk dirinya berkali-kali. Kenapa dia harus menyadari semuanya sekarang? Malika, papanya, bahkan mamanya sudah tahu semuanya sudah jauh hari.
Bahu Sandra ditarik pelan begitu isakan pelan lolos dari bibirnya. Hendra mengusap bahu putrinya yang mulai bergetar.
"Berhenti salahin diri kamu. Kevin melakukan ini justru karena tidak mau melihat kamu kecewa. Kamu bisa perbaiki semuanya, San. Jangan karena kamu merasa bersalah, kamu lalu bisa menghilang seenaknya. Itu hanya akan membuat Kevin semakin terluka. Kalian berdua itu sudah kenal begitu lama, wajar jika kalian tidak ingin kehilangan satu sama lain. Dan selama ini kamu juga tidak sadar, kalau kamu juga memiliki perasaan yang sama."
🌹
"Lo jangan bangun dulu, dokter bilang lo masih belum boleh banyak gerak." Adnan menahan bahu Kevin dan menyuruhnya agar kembali berbaring.
"Mama udah bilang sama kamu, tapi kamu keras kepala." Wulan membuang napas pelan dan mengusap kepala Kevin.
"Maaf, Ma, Pa. Tadinya aku cuma mau liat Gio. Tapi semuanya malah jadi gini." Kevin menatap kedua lengannya yang diperban. Dia lalu menatap Adnan. "Oh, iya, Nan. Kompetisinya gimana tadi? Gio—"
"Dia didiskualifikasi, Vin."
"A-apa?" Kevin menatap Adnan tidak percaya. Lidahnya mendadak terasa kelu.
"Sandra didiskualifikasi. Dia ninggalin kompetisi itu dan milih nemenin lo di sini," lanjut Adnan.
"Dia juga yang udah donorin darah buat kamu," sambung Wulan. "Awalnya Mama yang mau ngelakuin itu, tapi Sandra bersikeras kalau dia yang akan donorin darahnya."
"Kamu gak akan percaya kalau kami bilang Sandra hampir seharian nangisin kamu." Bayu menimpali.
Kevin terdiam. Apa yang sudah dilakukannya? Jadi Sandra didiskualifikasi?
"Dia bener-bener takut kehilangan lo, Vin." Adnan berujar pelan seraya menyentuh bahu Kevin.
—
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesandra ✔
Teen FictionKehidupan Sandra berubah semenjak bertemu kembali dengan rivalnya sejak kecil, yakni Kevin. Hari-harinya terasa begitu menyebalkan karena cowok itu terus-menerus mengganggunya. Namun di balik semua itu ternyata Kevin menyimpan sebuah rahasia dengan...