Bagian Empat Puluh Enam : Rival

339 21 11
                                    

Keributan kecil terjadi di depan ruang guru, bahkan bel jam pertama belum berbunyi. Beberapa orang yang lewat itu hanya menggelengkan kepala. Setelah waktu itu kasus sepatu tertukar, lalu berlanjut pertengkaran di lapangan, di kantin, di koridor, di salah satu kelas IPS, di depan gerbang, kini apalagi?

Malika memijat kepalanya yang berdenyut. Dia lantas menarik Sandra semakin menjauh. "Aduh, udah dong. Malah gue yang pusing nih. Vin, lo buruan minta maaf."

"Kenapa gue yang minta maaf? Jelas-jelas si Gio yang salah. Enak aja." Kevin berujar tidak terima.

"Kok lo nyalahin gue? Orang gue baru keluar. Lo juga jalan gak lihat-lihat!"

"Di mana-mana itu, yang belok yang mesti lihat-lihat. Gue aja kalo naik motor sering gitu kok."

"Lo kok jadi nyamain gue sama motor?!" Sandra sudah mulai mengangkat kakinya hendak menendang Kevin namun Malika menahannya.

"Yang nyamain lo sama motor siapa sih?" Kevin menaikkan sebelah alisnya dan pergi dari sana.

"Heh! Kevin! Sini lo!"

"Aduh, udah dong, San. Kenapa malah jadi bahas motor sih?" Malika tidak pernah mengerti dengan kelakuan dua orang itu. Pasti ada saja yang mereka ributkan.

Sandra melepaskan tangan Malika dan mengajak sahabatnya itu kembali ke kelas. Wajahnya masih tampak masam. Padahal semalam dia sempat mengkhawatirkan Kevin, karena cowok itu tampak sedikit pucat dari biasanya. Tapi sepertinya pagi ini dia kembali menjadi Kevin yang kelewat sehat.

"Kemarin lo pulang sama siapa?" tanya Malika.

"Kevin."

"Hah? Gue pikir dia udah pulang." Kening Malika mengerut.

"Awalnya gue niat jalan kaki, soalnya angkot isinya pada anak-anak cowok kan males. Mau minta jemput tapi HP gue abis baterai."

"Terus Kevin?"

"Bokap gue yang nelepon dia."

"Om Hendra nelepon Kevin?"

"Hm. Jadi tuh anak nyari gue. Ya ada untungnya sih, setidaknya kaki gue terselamatkan." Sandra lalu tertawa.

Malika mendadak diam. Keningnya kembali mengernyit. "Orang tua kalian kayaknya deket banget, San. Bahkan Bi Surti aja sampe deket banget sama Kevin. Om Hendra apalagi."

Sandra membuang napasnya. "Yah, gimana ya, Mal. Dulu kan orang tua kita sering dipanggil ke sekolah gara-gara gue sama Kevin sering bikin ulah. Tuh cowok juga pernah ke rumah gue beberapa kali sama nyokapnya buat jenguk. Tapi bukannya gue sama Kevin yang akur, malah orang tua kita yang deket." Dia tertawa pelan seraya duduk di bangkunya begitu sampai di kelas.

"Lo yakin kalian masih nganggep rival satu sama lain?" tanya Malika. Sandra mengerutkan kening.

"Ya iyalah. Emangnya lo gak cukup lihat gue sama Kevin ribut terus hampir tiap?"

"Tapi ... gue ngerasa ada sesuatu yang beda." Raut wajah Malika mendadak serius, membuat Sandra memiringkan duduknya agar bertatapan langsung dengan teman sebangkunya itu.

"Soal apa? Gara-gara dia sering nganter gue pulang? Ya elah, Mal. Itu kan Daffa yang nyuruh. Sisanya ya gak tega aja kali, mungkin dia ngerasa punya tanggung jawab karena gue pacar sahabatnya."

"Mantan, San. Lo sama Daffa udah putus," ralat Malika. Menyadari itu, Sandra mendadak diam. Ah, dasar. Dia masih saja lemah jika membicarakan Daffa.

"Tapi Kevin ngelakuin semua itu bener-bener buat Daffa. Daffa percaya sama dia, Mal. Meskipun gue sama Kevin sering berantem," ucap Sandra. Dia sendiri sejujurnya tidak mengerti kenapa Daffa bisa menitipkannya pada Kevin. Padahal dia sendiri tahu bagaimana hubungannya dengan Kevin.

"Terus apa kabar sama nyokap lo yang juga nitipin lo sama Kevin?"

"Kenapa jadi bahas nyokap gue?"

"San, mereka segitu percayanya sama Kevin. Apa lo gak pernah sadar? Kevin sekarang lebih peduli sama lo."

"Mal, lo ngomong apa sih. Mana ada lah." Sandra tertawa renyah.

"Kalo dia emang gak peduli, terus buat apa kemarin dia sampe bela-belain nyariin lo dan nganterin lo pulang?"

"Ya itu karena bokap gue—"

"Lo yakin kalo kalian itu masih rival?" tanya Malika seraya menatap Sandra penuh. "Meskipun Kevin sering bikin lo marah, tapi ada sisi lain yang baru-baru ini gue sadari. San, dia bener-bener peduli sama lo."

Sandra kembali terdiam. Memang, entah sudah berapa kali Kevin membantunya. Dia bahkan selalu meletakkan bunga di atas makam mamanya rutin setiap tahun tanpa Sandra ketahui. Bahkan Daffa sendiri tidak pernah melakukan hal itu, kecuali jika Sandra sendiri yang minta antar untuk ziarah. Daffa terjerat narkoba, tapi justru Kevin yang terus-menerus melontarkan maaf padanya. Dia rela bangun pagi hanya untuk mengantar ke rumah Daffa, bahkan menyuruhnya agar mau menemui Daffa sebelum mereka benar-benar berpisah.

"GIO!! MAAFIN GUE!!"

"GUE MINTA MAAF, GI! GUE MINTA MAAF!!"

"DENGERIN GUE, GI!! GUE GAK MAU NYAKITIN LO!"

Sandra ingat saat Kevin berteriak meminta maaf di tengah hujan deras. Lelaki itu bahkan merelakan dirinya kehujanan selama berjam-jam di depan pagar rumahnya. Bahkan di saat keadaan seperti itu, justru Kevin yang merasa begitu bersalah dan yang paling menyakitinya.

"San?" Malika melambaikan tangannya di depan wajah Sandra hingga gadis itu tersadar dari lamunannya.

"Mal, tapi gue gak pernah ngerasa ada sesuatu yang beda. Semuanya sama aja. Kevin, masih jadi rival gue. Dia musuh bebuyutan gue sejak dulu." Sandra berujar.

"Terus Kevin? Apa dia juga nganggap gitu?"

Kedua alis Sandra bertaut. Selama mereka berteman, Malika tidak pernah berbicara seserius ini kecuali saat membicarakan tentang Daffa. Dia benci pembicaraan semacam ini, karena dia dan Kevin adalah musuh bebuyutan sejak lama.

"Bahkan ketika Daffa tersandung kasus sampe dia di-DO, Kevin selalu ada buat lo. Apa lo gak sadar, San?"

"Mal, lo gak usah racunin pikiran gue. Gue lagi gak mau bahas hal kayak gitu dulu. Udah cukup gue soal Daffa. Gue gak mau mikirin hal-hal ribet dulu."

"San, gue ngomong gini biar lo tahu. Hal yang lo sebut sebagai rival itu, sebenernya cuma luarannya aja. Lo selama ini gak peka, San. Atau mungkin gue harus muji Kevin karena dia selama ini pinter sembunyi?"

"Mal, lo jangan sok tahu. Lo terlalu berlebihan." Sandra tertawa pelan. Kenapa pembicaraan mereka mendadak berat? Ini bahkan masih terlalu pagi untuk membahas hal seperti itu.

"Oke, sebut gue sok tahu. Tapi setidaknya gue sedikit lebih pinter baca situasi dibanding lo." Malika beranjak dari kursinya dan keluar kelas. Sandra menatap punggung sahabatnya yang menjauh.

Kenapa Malika harus berbicara soal itu? Jika memang ada hal lain yang Kevin sembunyikan, itu artinya— Sandra mengerjap.

Dia sudah banyak melukai Kevin, bukankah begitu?

—tbc.

Kesandra ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang