Bagian Tiga Puluh Satu : Hujan Penuh Luka

435 23 2
                                    

Sandra mengerucutkan bibirnya saat melihat motor Kevin yang menjauh. Setelah pertemuannya dengan Beny tadi, Kevin tidak mengatakan sepatah kata pun. Cowok itu bahkan langsung pergi begitu saja setelah mengantarnya pulang.

Ada yang aneh, pikir Sandra yang melihat reaksi Kevin. Kenapa Kevin terlihat lebih membenci Beny ketimbang Daffa?

"Non, kok malah diem? Udah mendung, nanti keburu hujan lho." Ucapan Bi Surti membuyarkan lamunan Sandra. Cewek itu menatap langit sore yang sudah dihiasi awan-awan kelabu.

"Eh? I-iya, Bi."

Sandra segera memasuki rumahnya dengan pikiran yang masih sama. Ada sesuatu di antara Kevin, Daffa, dan Beny yang tidak diketahuinya. Atau mungkin Angga juga ikut menyembunyikannya?

"Gue harus nyari tahu," gumam Sandra sembari mendudukkan dirinya di tepian ranjang kamarnya. Dia menatap sebuah foto yang terpajang di atas nakas. Itu adalah foto dirinya dan Daffa. Foto itu diambil enam bulan yang lalu, tepat ketika Daffa memenangkan sebuah olimpiade tingkat nasional. Tangan cowok itu memegang sebuah piala. Sementara tangan yang satunya dipeluk erat oleh Sandra yang berdiri di sebelahnya. Senyum keduanya terlihat begitu mengembang. Betapa babagianya saat itu.

Tes.

Sandra mengerjap saat tiba-tiba setetes cairan bening jatuh dari pelupuk matanya. Entah apa yang membuat air matanya jatuh, padahal dia tidak sedang bersedih. Hanya ... sesak?

Sandra memegangi dadanya yang entah mengapa terasa sesak setiap kali mengingat Daffa. Dia banya takut, jika suatu saat nanti Daffa benar-benar mengecewakannya. Semoga tidak. Selama ini Sandra tidak pernah membayangkan hal-hal buruk tentang Daffa. Namun sikap Daffa akhir-akhir ini seringkali membuat otak Sandra tidak dapat berpikir jernih.

Dilihatnya notifikasi yang masuk ke ponselnya. Betapa kecewanya dia saat tidak mendapatkan notifikasi dari sang kekasih.

Daffa kenapa sih? batinnya. Hal-hal di sekitarnya semakin terasa aneh, apalagi saat dirinya pergi ke sekolah Daffa dan bertanya pada Angga. Cowok itu terlihat begitu gugup seperti sedang menyembunyikan sesuatu dan yah, memang terlihat jelas. Angga memang menyembunyikan sesuatu darinya. Dari Sandra. Mungkinkah Daffa sakit parah? Kanker? Hepatitis?

Tidak! Sandra menepis pikiran-pikiran seperti itu. Daffa sehat dan dia tahu itu. Mungkin kekasihnya itu hanya kelelahan karena terlalu memaksakan dirinya belajar menghadapi kompetisi nanti.

Sandra mengangguk mantap. Merasa pikirannya kali ini benar. Sangat benar. Daffa memang memiliki anemia, tapi itu dulu sekali. Sekarang kesehatan cowok itu sudah pulih kembali.

Kedua ibu jarinya mengetikkan pesan untuk Daffa. Entah kapan cowok itu akan membaca pesan WhatsApp-nya. Namun tak apa. Setidaknya Sandra sudah mencoba menghubunginya.

🌹

Hai. Gimana? Udah mendingan? Jangan lupa makan. Terus minum obat juga ya! Semangat! Kita harus ketemu di kompetisi.

Oh, iya. Telepon aku kalo kamu baca ini, ya. Aku kangen. Hehe:P

Benda tipis itu tergeletak di atas permukaan lantai. Menunggu perhatian si pemilik yang juga tengah tergeletak dengan dahi yang penuh keringat. Suasana ruangan itu mendadak panas. Tangisan Natasia pecah saat itu juga. Dia harus bisa mengawasi Daffa dan dia tidak boleh lengah karena Daffa bisa melakukan apa saja yang membahayakannya. Atau yang lebih parahnya lagi, membahayakan dirinya sendiri. Sementara Rafael pergi menemui tim medis yang biasa menangani kesehatan keluarganya.

"Pergi!" Daffa melempar sebuah bingkai foto di dekatnya.

Natasia tersentak dengan kedua mata yang memerah. Ulu hatinya merasa terbakar melihat Daffa. Putranya sejak tadi bahkan membentaknya, meminta sesuatu. Dia bahkan tidak segan melemparkan benda-benda di sekitarnya ke arah Natasia.

Kesandra ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang