Natasia menatap pintu kamar Daffa yang masih tertutup rapat. Putranya itu belum juga keluar dari kamarnya sejak siang tadi. Dia bahkan belum memakan apa pun dan itu membuat Natasia khawatir.
Dia kemudian pergi menuju dapur dan menyiapkan beberapa makanan di dalam piring. Mulai dari nasi hingga lengkap dengan lauk-pauknya.
"Bi, tolong anterin ini ke kamarnya Daffa ya," ucap Natasia pada bi Lilis yang baru saja selesai mencuci piring.
"Iya, Bu." Saat bi Lilis hendak mengambil nampan di tangan Natasia, Rafael tiba-tiba datang dan mengambil alih nampan itu.
"Nggak usah bi. Biarin aja."
"Pa, Daffa belum makan sejak tadi," ucap Natasia.
"Biarin saja, Ma. Anak itu bakalan turun kalau dia memang masih peduli dengan dirinya. Dia kemarin bisa meracuni tubuhnya sendiri dengan obat-obatan haram. Sekarang Papa ingin lihat. Apa dia masih punya selera memakan makanan yang layak?" ucap Rafael yang meletakkan kembali nampan itu di atas meja.
"Pa ... "
"Mama tahu kenapa tadi Papa biarin dia dipukul habis-habisan sama Kevin?" Rafael menjeda kalimatnya selama beberapa saat. "Karena dia pantas mendapatkannya. Biarkan dia menyesal. Dia sudah berani melakukan hal kotor, dan itu artinya dia sudah siap dengan setiap konsekuensi yang akan diterimanya. Tidak terkecuali dengan pedidikannya." Rafael hendak pergi dari sana, namun Natasia dengan cepat meraih tangannya. Wanita itu menatap Rafael lekat.
"Apa maksud Papa? Apa Daffa ... "
"Ma, tidak ada sekolah yang mau melihat muridnya menjadi pecandu narkoba. Sekolah yang seharusnya menjadi lembaga pendidikan dan melahirkan anak-anak berprestasi, tidak seharusnya membiarkan penyakit seperti Daffa berada di sana. Papa benci mengakui ini. Tapi lambat laun, Daffa akan segera dikeluarkan dari sekolahnya."
Kalimat itu seolah menjadi tamparan keras bagi Natasia. Tangannya yang tadi mencengkeram lengan suaminya, kini jatuh kembali ke samping tubuhnya layaknya kehilangan tenaga. Mimpi apa dia semalam sampai harus mengalami semua ini? Dia bahkan tidak ingin mengalaminya meskipun hanya dalam sebuah mimpi.
Menyadari keadaan majikannya, bi Lilis segera mendudukan tubuh Natasia di kursi. Rafael secara terang-terangan mengatakan semuanya pada bi Lilis saat wanita itu bertanya. Bohong jika bi Lilis tidak terkejut. Dia amat sangat terkejut hingga hampir menangis. Terlampau tidak percaya kalau anak majikannya yang selama ini dia kenal dengan sangat baik, kebanggaan keluarga, berprestasi, secara tiba-tiba menghancurkan nama keluarga dan sekolahnya secara sekaligus dalam sekejap. Jangan ditanya dengan namanya sendiri. Ibarat seperti kertas putih yang ditumpahi oleh tinta hitam. Tidak akan pernah bersih kembali.
Sementara itu di dalam kamar, Daffa hanya terdiam memandangi pemandangan di luar jendela kamarnya. Bintang-bintang yang bertebaran di langit, menemani bulan yang kala itu sedang bersinar dengan terangnya. Namun mata Daffa seakan tidak melihat apa-apa. Semuanya seakan gelap gulita.
Luka di beberapa wajahnya sudah mulai mengering, meskipun dia masih bisa merasakan sakitnya. Namun rasanya tidak sebanding dengan apa yang tengah dirasakannya saat ini. Rasanya jauh lebih sakit berkali-kali lipat hingga dia tidak bisa menghentikan air matanya.
"Hal yang aku gak suka dari kamu, adalah kamu yang gak bisa bikin aku enggak sayang sama kamu."
Cairan bening itu pun pada akhirnya kembali jatuh dari sudut mata Daffa. Sebuah benda yang terpajang di meja belajarnya menjadi fokusnya selama beberapa menit terakhir. Dia tersenyum miris. Melihat bagaimana dirinya tersenyum begitu bahagia dengan Sandra dalam satu frame bersama. Namun sekarang Daffa bahkan tidak bisa meyakinkan dirinya sendiri untuk bisa melihat senyuman tulus Sandra yang selalu berhasil membuat dadanya berdebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesandra ✔
Teen FictionKehidupan Sandra berubah semenjak bertemu kembali dengan rivalnya sejak kecil, yakni Kevin. Hari-harinya terasa begitu menyebalkan karena cowok itu terus-menerus mengganggunya. Namun di balik semua itu ternyata Kevin menyimpan sebuah rahasia dengan...