"PRABUUU!! PIKET LO KALAU NGGAK KAS JATAH LO GUE TAMBAH!" teriakan Asmaraloka memenuhi ruangan kelas X-2, sang pelaku—Prabu masih anteng dengan Mobile Legendnya.
"Astaga! Diem Mara! Tanggung nih," suara Prabu dari pojok kelas membangkitkan 'singa betina'. Mara dengan berbekal sapu menuju pojok ruangan tempat markas para cowok untuk mabar karena wifi sekolah kenceng disitu.
"Piket nggak lo! Udah mending ya minggu kemarin gue kasih keringanan, nggak! Sekarang nggak ada lagi keringanan, piket Prabu!" Mara merebut ponsel Prabu. Kemudian dia titipkan ke Donny—si pendiam alias Ratih versi cowok.
"Ah elah galak banget! Iye dah mana mana. Minggir lo!" kaki jenjang Prabu menyentuh lantai dengan keras. Mara terkekeh, akhirnya sang biang kerok ia jinakkan.
"Gila lo, Ra! Sampek nunduk gitu," komentar Mekka setelah Mara duduk di depan kelas. Yap!
"Kalau nggak gitu nggak bakalan kapok, Mek. Serius dah tuh anak bandel banget," Mala seraya merebut pop ice milik Ratih. Untungnya si Ratih kan slow motion, jarang marah, pengertian, dalam arti anaknya 'iye iye aja' jadi ya nggak banyak komentar.
Tak lama berselang, Mara menepuk jidatnya.
"Mampus! Gue lupa kalau tadi di panggil Pak Wahyu, gue cabut, bye!" secepat nggak cepet sih, Mara mana bisa lari cepet. Ah intinya Mara lari menuju ruang guru.
Nggak sampek 5 menit, ah 3 menit aja nggak sampek. Setelah menuruni tangga, Mara berangsur membetulkan penampilannya. Diceknya kelengkapan seragamnya. Mulai rok yang masih memenuhi standart, baju yang tidak ketat dan lusuh, pakai ikat pinggang, pakai dasi. Yak sip! Siap.
Oke, mungkin nggak semua orang kayak Mara. Tapi ya secara logika masuk ruang guru itu harus punya nyali besar. Harus tahan malu sedikit, harus siap diinterogasi kelas mana, cari siapa, sampai kadang-kadang ditanya mau ngapain. Yakale dah ke ruang guru mau main lompat tali, kan ya nggak mungkin. Jadi ngecek penampilan mau masuk ruang guru itu penting nggak penting, kalau seragam nggak lengkap siap aja dihadiahi tatapan sinis.
"Assalamu'alaikum," ketok Mara di pintu ruang guru yang terbuka. Selanjutnya, senyum Bu Nayya—guru terkiller menyambutnya.
"Cari siapa Asmaraloka?" nah kan! Baru aja masuk,
"Hum, Pak Wahyunya ada, Bu?" jawab Mara sopan.
"Ada, emang mau apa?" asli nggak jarang tipe-tipe guru kaya Bu Nayya tuh banyak di sekolah. Dan itu cukup merepotkan :')
"Hum nggak tau, Bu. Pak Wahyu di meja belakang ya , Bu?" Bu Nayya ngangguk sebagai jawaban.
Mara melangkah dengan santai plus sopan. Iyalah di ruang guru harus santai dan sopan. Jangan grasak-grusuk, entar imagenya 'bad'. Jaim dikit lah.
"Hum, Assalamu'alaikum, Pak. Pak Wahyu manggil saya?" tanya Mara sopan pada seorang pria yang terlihat sibuk mengemasi barang-barangnya.
Ah bau-bau kosong nih, hehehe. Mara membatin dengan tersenyum senang.
"Wa'alaikumsalam. Asmaraloka, saya habis ini mau rapat keluar. Otomatis jam saya—"
"Alhamdulillah," gumam Mara dengan mata berbinar.
"Kamu kenapa ngomong apa, Asmaraloka?" Pak Wahyu mengernyit bingung. Sedang Mara, dia hanya geleng-geleng sebagai jawaban.
"Jadi otomatis saya tidak bisa hadir untuk memberikkan materi di kelas. Tolong kamu sampaikan pada teman-teman kamu, kerjakan ini dan dikumpulkan sebelum bel pulang." Ini mah namanya ketiban durian, mujur benerrr. Errrr, meski mapelnya Kimia nggakpapa deh yang penting waktunye banyak hahaha.
"Oh iya pak, sudah?" pertanyaan Mara hanya diangguki oleh Pak Wahyu, "baik, sama permisi pak. Mari," ucap Mara seraya meraih setumpuk fotocopyan soal dari mejanya Pak Wahyu.
"Alhamdulillah rezeki an—"
"MAMPUS!! LIHAT-LIHAT DONG!" seorang menabraknya hingga soal-soal itu tercecer. "Jalan tuh dipakai matanya," gumam Mara ketus.
"Maaf gue nggak sengaja," Mara terpaku. Wait for a minute, suara itu...
Mara mendongak, dan..
"WHAT?!" pekiknya saat melihat siapa yang menabraknya. "Oh iya nggakpapa, gue yang salah. Bukan Kak Adikara," Mara sesegera mungkin memunguti kertas-kertasnya yang terjatuh.
"Biar gue bantuin," Adikara jongkok, lalu membantu Mara memunguti kertas soal. "Nih!" serah Adikiara setelah semua kertas berhasil dipunguti, "Nama lo?" kata Adikara yang menjulurkan tangan. Mara terpaku, yaduh gusti! Ini mah namanya ketiban bintang, bukan ketiban duren lagi.
"Mar—Asmaraloka, Kak." Kata Mara seraya menyambut uluran tangan Adikara, "gue duluan, Kak. Permisi," tidak menunggu jawaban, Mara langsung melesat menuju kelasnya.
Ya walau mukanya masih merah, jantungnya belum terkondisi, dan sederet kondisi yang tak wajar lainnya.
"Assalamu'alaikum, kerjain ini dan kumpulin sebelum bel. Nggak ngumpulin, nilainya dipotong," begitulah Mara, dia menginginkan teman-temannya rajin makanya dia sedikit menambahi ucapan Pak Wahyu, biar tertib. Setelah mengatakan itu, Mara langsung mengambil sebuah kertas dan menuju bangkunya. Dengan wajah yang masih merah tentunya.
"Tumbenan lo nggak teriak-teriak pas ngasih tau, Ra?" Mekka yang baru saja mengambil soal mengawali pembicaraan. "Buset! Pak Wahyu baik bener, ini serius Cuma lima? Alhamdulillah ya Allah, tadi pagi gue sarapan apa sampek ketiban rezeki gini ini?!" ucap Mekka setengah teriak.
"Mekka, gue tadi ditabrak dan diajak kenalan sama Kak Adikara," jelasnya singkat dan cepat. Mekka yang pada dasarnya jarang peka ya agak loading dong.
"DEMI WHAT LO?!" teriaknya yang menyita perhatian satu kelas.
"Kenapose kenapose?" tanya beberapa orang di kelas itu. Mara dan Mekka hanya nyengir dan membentuk jarinya menjadi 'V'.
"Bisa sans aja nggak? Ya gitu doang sih, nggak lebih. Nggak sampek kayak di novel-novel." Ucap Mara enteng seterusnya dia mengerjakkan soal.
"Gimana kalau lo deketin Kak Adikara? Meski mantan-mantannya bohai plus cantik, siapa tau dia pas kelilipan terus mau sama lo?" Mekka memberikan ide gila yang berbuah pelototan Mara.
"Gue nyadar diri, gila kali lo!" umpat Mara dengan kesal.
"Tap—"
"Kerjain!" titah Mara tak bisa dibantah. Asli Mara sebenernya tuh mau, Cuma malu. Dia juga nyadar diri, dia siapa, Adikara siapa. Dia tau posisi kok.
+++
"MAMPUS BESOK ADKEL KITA JONACI BUNG!!!" itu suara Prabu sesaat setelah Mara datang dari ruang guru.
"ANJIR KUPING GUE!" protes Mara karena memang si Prabu teriak pas di depan Mara. Mara nampak garang, makanya para cowok jangan macem-macem sama cewek!
"LO—"
"Asmaraloka anaknya Pak Dady sama Bu Imah, jangan marah. Entar cepet tua lho," potong si Prabu yang melihat Mara yang memerah. Mara menyeringai.
"Iya nggak bakal gue marahin kok," kata Mara seraya berlalu dari hadapan Prabu. Prabu menghembuskan napas lega, untung saja Mara berbaik hati padanya.
BRUK!
"Wadaw!" kata Prabu saat sebuah buku mendarat di lengannya, "aish! Sadis banget lho! Jadi gadis tuh yang anggun, manis, bukan grasak-grusuk gini!" protes Prabu dengan bersungut.
"Lo—"
"Mara lho nggak pulang? Entar dimarahin Bang Ranu sukurin lho," Mara tersadar dengan ucapan Mekka. Segera ia sambar tasnya yang berada di meja depan sendiri. Padahal mejanya di belakang meja itu, ah teman-temannya suka gitu sih.
***
Hadir dengan genre baru dan cerita baru. Cerita ini terinspirasi dari aku sendiri, jadi no plagiat yaw!
Vommentmu berharga kawan~

KAMU SEDANG MEMBACA
Giovanile
Fiksi RemajaAsmaraloka sebelumya hanyalah gadis biasa yang tidak terkenal, tidak cantik, tidak tajir, namun pintar. Eksistensinya di sekolah jarang diketahui, tak banyak yang mengenal dia. Namun, Asmaraloka kini tiba-tiba menjadi sorotan, apakah penyebabnya? Bu...