20

105 8 0
                                    

"Pacar yang baik nggak akan ngekang karena alasan konyol Kak, gue permisi!" Mara meninggalkan Adikara yang kini mengacak rambutnya kesal.
+++
Asmaraloka pulang menggunakan ojek, seperti biasa. Perempuan itu masih emosi karena Adikara. Menurut perempuan itu, pacar yang baik tak akan menghalanginya bergaul, berteman, lalu Adikara? Seenaknya menghalanginya karena cemburu? Astaga konyol sekali?
Gadis itu memutuskan untuk ke taman kota, masih jam 7 malam, belum terlalu malam. Dia memutuskan untuk meredakan emosinya, dia tak ingin kembali ke rumah dengan emosi yang membumbung tinggi.
Gadis itu duduk sendiri di sebuah kursi taman, sendirian. Tidak ada Mekka yang biasanya nempel dengannya, atau Ranu yang biasanya menjadi bodyguardnya.
"Neng sendirian aja?" bau alkohol tercium seketika. Mara bergidik ngeri, lelaki bertato itu kini duduk di sampingnya. Mara bangkit berdiri. Namun langkahnya dicekal oleh tangan keras itu, "mau kemana sih Neng? Sini Abang temenin," ujar lelaki itu dengan tatapan menggoda. Ingin rasanya Mara menangis, matanya sudah panas sekarang.
"Abang pala lo peang, nyadar dong lo udah tua! Dasar tua bangka!" jawab Mara dengan lantang, dia memang takut, tapi dia tak tahan untuk tak mengomel.
Satu tamparan mendarat mulus di pipi chubby itu, "Tua tua gini masih berkharisma, mau dibuktiin?" suara lebih pelan. Bukan, suaranya dilembut-lembutkan. Mara menangis tertahan. Dia memundurkan badannya ketika lelaki itu mendekat.
BUGGHHH!!!
Mara menendang bagian vital lelaki itu. Lelaki itu mundur, tapi senyuman menggoda itu masih bertahan.
"Neng cantik mau main-main sama Abang?" goda lelaki itu kini berjalan mendekat.
"Eh lo kira gue bitch apa? Lo itu ya, muka juga nggak ganteng, badan juga banyak lemaknya, tato juga nggak karuan lo punya apa sih ha? Tua bangka aja bangga, udah bau tanah lo tuh!" ujar Mara panjang lebar seraya merogoh tasnya. Mencari sebuah botol spray kecil. Lalu menyemprotkannya ke arah lelaki itu. Tepat di bagian matanya.
Lelaki itu mengucek matanya yang pedas akibat cairan yang di berikan Mara itu. Mara tersenyum sinis,
"Dih payah, gitu sok sokan," ujar Mara lalu meninggalkan lelaki itu. Berlari sekencang mungkin.
Mara bukanlah wanita lemah dia terbiasa kuat menerima kenyataan. Memang, Mara sengaja menyiapkan cairan itu untuk jaga-jaga. Cairan cukup pedas, ramuan dari cabai, merica, juga air.
"Ternyata lo dewanya galak ya?" seorang pria mengagetkan Mara. Mara mundur untuk jaga-jaga, karena lelaki itu menggunakan pakaian olahraga juga hoodie yang menutupi kepalanya.
"PRABU?! GILA LO?!" pekik Mara setelah lelaki berhoodie itu nyengir di depannya.
Plakkk!!
"Ngapain lo disini?" tanya Mara setelah mengeplak kepala Prabu. Prabu mengelus kepalanya yang digeplak Mara.
"Heh, ini tempat umum. Terserah gue mau kesini atau enggak, lagian lo tuh udah tau sama orang mabuk masih aja galak ya? Heran gue, lo itu otaknya terbuat dari apa sih?" Mara mendelik mendengar pernyataan Prabu.

Plaakkk!!!

Lagi-lagi Mara mengeplak lengan Prabu.
"Heh lo kira gue ini samsak?" ujar Prabu seraya mengelus lengannya bekas tangan Mara.
"Jadi lo lihat gue dideketin sama aki-aki tadi?" Prabu mengangguk sebagai jawaban.
"WHAT?!!!!" Pekik Mara membuat Prabu harus melindungi telinganya. Mara reflek menggeplak kepala Prabu.
"Ah anjir banget lo ya?! Lo kenapa nggak lindungin gue? Malah nonton? Lo gila? Lo nggak mikir? Lo gimana sih, gue cewek anjir. Lo mikir dong gimana kalau gue kenapa-napa!!" omel Mara Prabu melindungi telinganya. Prabu menggaruk tengkuknya.
Memang pada awalnya Prabu berniat menolong tapi melihat betapa galaknya Mara akhirnya dia memilih menjadi penonton saja.
"Sante dong, Bos. Awalnya gue juga mau nolong, tapi lihat lo kek macan betina ngamuk yaudah gue nonton aja. Lumayan, seru." lagi lagi Mara menggeplak lengan Prabu, "Eh lo KDRT nih. Ah elah, gue kan pengen dapet tontonan gratis." omel Prabu balik.
"Apa lo bilang? KDRT? Sejak kapan kita rumah tangga?" Prabu memutar bola matanya malas. Ah berurusan dengan cewek tak pernah ada habisnya, cewek selalu benar dan cowok selalu salah. Padahal tidak semua cewek itu benar, ah sudahlah itu hukum alam.
"Ah bacot lo! Diem gue mau pulang," ujar Prabu seraya meninggalkan Mara yang kini melangkah pergi.
+++
Pagi menyapa seperti biasanya Mara sibuk dengan persiapan ke sekolahnya. Bedak bayi juga lip balm selalu menjadi teman kesehariannya.
"Ibuk, Mara berangkat. Ibuk berangkat jam berapa?" tanya Mara yang sudah menenteng kotak bekal. Ibu Mara tersenyum, teduh, khas seorang Ibu.
"Ibuk berangkat jam ke 5, santai. Habis ini absen dulu, nanti Ibuk masak terus jam 10 Ibuk berangkat," jelas Ibu Mara hanya dibales Oh singkat.
Mara berangkat sekolah dengan diantar oleh Ayahanda. Lalu turun di depan gerbang dengan mulus.
Gerbang sekolah menyambutnya, Mara tersenyum. Lalu melangkahkan kaki menuju dalam Sekolah diawali dengan bismillah.
"Asmaraloka!" panggilan itu berasal dari sebuah suara bariton yang amat ia kenal. Mara mempercepat langkahnya, Adikara mengejarnya dengan berlari. Lalu mencekal pergelangan tangan gadis itu.
"Gausah kasar!" bentak Mara membuat Adikara mengernyit, gadis ceria ini bisa marah? Padahal menurut Adikara cekalannya ini tidaklah keras atau sakit. Apa Mara sedang dalam mode macan betina?
Tatapan Mara juga kian tajam, tidak seperti biasanya.
"Asmaraloka, gue mau minta maaf. Gue nggak bermaksud ngekang lo, but gue nggak suka lo deket cowok sambil ketawa lepas. Boleh enggak gue egois? But i want your laughter only for me and your family," Mara menggelengkan kepalanya mendengar perkataan Adikara. Ah lelaki memang egois bukan?
"Sorry, but you're just my boyfriend, not my family, especially my husband, you can't be that selfish." jelas Mara dengan penuh penekanan. Adikara tertawa miring, sinis.
"Just boyfriend? Just?" ulang Adikara membuat Mara semakin memicing. Astaga jangan sampai Perang Dunia terjadi di sini.
"What? Ada yang salah? Kak, sorry nih. Gue bukan cewek yang mudah diatur, gue manusia bebas yang pengen bergaul dengan siapapun, enggak terbatas. Orang tua gue aja nggak ngebatasin, masa lo ngebatasin sih?" sewot Mara dengan nada marah.
Adikara tak memberikan penjelasan, lelaki itu hanya berlalu begitu saja. Itu cara Adikara meredam emosinya jika tidak segera diredam, dia bisa meledak saat itu juga.
"Is he crazy?" gumam Mara seraya menggelengkan kepalanya.
+++
Jamkos di jam pelajaran terakhir memang nikmat. Kelas Mara memutuskan untuk menyanyi bersama. Ada yang gitar, nepuk-nepuk cajon, ada vokalisnya, ah sudah mirip grup band. Gorden di kelas Mara juga di tutup, menambah ruangan menjadi gelap.
Flash handphone anak X-2 sudah dihidupkan, mirip seperti konser dadakan. Petikan gitar terdengar.
Sopo sing kuat nandang kahanan....
Sopo sing ora kroso kelangan....
Ditinggal pas sayang-sayange, pas lagi jeru-jerune
Koe milih dalan liyane......
Sopo sing kuat ditinggal lungo...
Sopo sing atine atine ora lara....
Kenangan sing wis tak lakoni
Tak simpen ning njero ati, dewe wes ra dadi siji...
Seluruh kelas bernyanyi seakan tak ada beban, flash yang mereka hidupkanpun diayunkan kekanan dan kekiri. Aaah di luar hujan, semakin syahdu saja. Mereka seakan lupa dengan rentetan tugas yang menumpuk dan dikejar oleh deadline.
Yo wes ben tak lakoni nganti sak kuat-kuate ati...
Pesenku mung siji sing ngati-ati...
Iso ku mung mendem, isuk tekan sonten merga sadar diri kula dudu sinten-sinten....
Yo wes ben mung tak pendem rasa sing ana ing njero dodo...
Tetep tak dungano muga urip mulya...
Isoku mung nyuwun muga ora getun....
Cekap smanten matur nuwun.....
Ya meski logat jawanya agak-agak tapi ya lumayan buat hiburan. Semua anak kelas bersorak-sorai, ramai, sudah mirip konser.
"KARTONYONO!!!"
"PURA-PURA LUPA!!!"
"SUKET TEKI!!!!"
"PAMER BOJO!!!"
Teriakan yang terakhir itu berasal dari Mara, gadis yang duduk tepat di bawah kipas angin. Kini semua mata tertuju pada gadis itu.
"Apa lo?!" jawab Mara songong. Semuanya tetap menatap dengan tatapan bertanya.
"Ra, Kak Adikara nggak pamer bojo beneran kan?"
+++
Mara meninggalkan kelas dengan dongkol, persetan dengan hujan yang penting dia cepet pulang. Dengan langkah tergesa, gadis itu melangkah di bawah rinai hujan.
Mekka mendadak membuatnya dongkol karena bertanya menyangkut dengan Adikara.
Tak lama.

BRUUKKK!!

Mara terpeleset terpelanting di genangan air. Tidak sakit hanya malu saja. Dia berharap ketika ia terjatuh macam ini ada seorang pangeran yang menolongnya. Dia menggerutu seraya bangkit, roknya basah. Aaah malu sekali kalau dia keluar dengan keadaan begini.
Tak lama, rintik hujan tak menerimanya lagi, seakan ada yang menghalangi.
Mara mendongak, menangkap sesosok gagah di depannya. Mata tajam itu menatap Mara, sebelah tangannya memegangi tasnya yang dijadikan payung agar Mara tak kehujanan. Sebelah tangannya lagi ia sodorkan ke Mara.
"Yok gue anter!" kata Adikara diiringi senyuman. Aish! Mara kecolongan, gadis itu terpana. Tidak, dia tidak boleh tersenyum apalagi terpesona.
Dengan sigap Mara bangkit sendiri, tidak menerima uluran tangan Adikara. Gadis itu berjalan cepat seakan tak peduli.
Adikara mengejar dari belakang lalu menghadang Mara menutupi jalan, Mara menghela napas.
"Gue tau gue egois. Sorry Ra." kata Adikara dengan nada pelan, lembut.
"Iya," jawab Mara singkat. Lalu berjalan lagi, acuh kepada Adikara.
Adikara kembali berlari menghadang Mara, gadis itu menghela napas lagi.
"Rok lo basah." Adikara kini membuka isi tasnya, "Ini gue bawa jaket. Iketin di pinggang lo, gue nggak mau lo diperhatiin sama cowok-cowok lain gegara rok lo basah," jelas Adikara seraya tersenyum.
Asmaraloka ikut tersenyum, astaga gadis itu tak akan bisa marah lama-lama.
Tak lama tangan Adikara mengalung tepat di belakang punggung Mara.
Mara mendongak, melihat tas Adikara melindunginya dari hujan.
"Biar lo nggak sakit, gue nggak mau lo sakit." Adikara tersenyum lagi, lalu mereka berdua melangkah bersama. Menuju pelaminan.

GiovanileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang